Butet Manurung Sang Petualang Di Hutan Rimba |
Ia bertutur tentang awal mula tertarik mengajar di tengah rimba. Butet kecil pernah bilang pada sang ayah, kalau ingin menjadi petualang seperti Indiana Jones dan ingin bekerja di pedalaman serta mengabdi di hutan. Benar saja, mimpinya kini terwujud.
"Saya bertekad harus menjadi petualang yang bermanfaat. Bukan untuk dihargai, tapi ada perasaan bangga mengabdi kepada mereka, itu yang selalu bikin rindu," kata Butet kepada Info Breaking News, di Gedung Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jumat (12/5).
Perempuan kelahiran 21 Februari 1972, ini menjelaskan, ada perbedaan makna belajar baca tulis di rimba dan di kota. Di rimba, belajar baca tulis lebih sebagai sarana membangun kesadaran sosial. Di sana, filosofi belajar adalah membaca alam.
"Belajar survival, vegetasi, membaca arah mata angin dan lainnya. Dengan begitu mereka belajar membaca lingkungan sekitarnya. Kalau menulis, mereka pandang sebagai tindakan hasil dari membaca tadi. Mereka itu punya sekolah sendiri, dari TK sampai kuliah. Dari belajar menangkap tupai untuk anak usia SD, sampai menangkap babi hutan atau naik ke pohon madu, itu istilahnya sekolah S3," kata Butet.
Di kota besar, belajar baca tulis bertujuan sebagai pintu gerbang menggapai cita-cita dan membangun kesadaran sosial. Sementara bagi anak rimba, mereka memaknai belajar sebagai senjata mempertahankan diri. Sebab, mereka sering melihat melihat orang luar mengambil tanah, menebang pohon, melakukan illegal logging, dan mengubah peruntukan hutan menjadi hunian.
"Jadi mereka pikir, untuk bisa mengatasi itu harus bisa membaca dan menulis bahasa Indonesia. Atau istilahnya, untuk mengatasi gangguan dari orang yang bisa menulis, maka saya juga harus bisa baca tulis. Berawal dari situ, kepandaian membaca tulis menjadi pintu masuk ke segala ilmu pengetahuan," kata penerima anugerah Heroes of Asia Award 2004 dari Time ini.
Lulusan Antropologi dan Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaran, Bandung, ini mengatakan bahwa murid-muridnya di Sokola Rimba lebih senang bila ia menyediakan buku tentang hukum dan HAM. Hal ini berkaitan dengan maraknya illegal logging yang terjadi di hutan tempat tinggal mereka.
"Memberikan ilmu kepada mereka harus berhati-hati. Kalau salah, bisa dikira menghina dan tidak memberikan manfaat. Dulu, saya pernah memberikan buku di luar bahasan konservasi, hukum, HAM. Saya tanya kepada salah satu murid, di mana buku itu. Ia bilang, 'Sudah dibakar, Bu Guru.' Dibakar lho, bukunya," ujar Butet, disusul tawa peserta talkshow.
Belajar dari pengalaman tersebut, Butet tak ingin salah sasaran. Ia kini menyediakan buku yang berhubungan dengan realita kehidupan mereka.
"Untuk melawan illegal logging, mereka harus membaca tentang hukum dan HAM, konservasi, dan lainnya. Berkat membaca buku, sekarang mereka sering berbicara di forum, kadang di DPR atau di Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka sudah bisa selevel untuk membicarakan undang-undang atau peraturan yang mengatur tentang hal itu. Jadi lebih ke bagaimana bisa mempertahankan hak lewat sesuatu yang dipelajari," jelas Butet.
Butet bercerita, pernah ada orang yang berniat melakukan penebangan pohon. Niat buruk itu diketahui oleh murid-murid Sokola Rimba. Lantas, para murid melakukan perlawanan dengan membawa buku mereka.
"Mereka bilang 'Bapak tidak boleh begitu. Ini namanya pelanggaran hukum. Ini ada UU tentang konservasi, bapak bisa dipenjara dan didenda.' Kemudian si pelaku ini jadi takut dan mengurungkan niatnya," kata Butet.
Melihat pentingnya buku bacaan untuk anak-anak di pelosok daerah, Butet mendukung gerakan yang menginisiasi penyediaan buku bagi anak-anak Indonesia. Salah satunya, gerakan #BukuUntukIndonesia.
Gerakan ini mengajak masyarakat menunjukkan kepedulian akan ketersediaan buku di daerah dengan berdonasi Rp100ribu, yang kemudian akan dikonversi menjadi buku untuk diberikan kepada anak-anak di daerah.
Bila Anda juga tertarik untuk berdonasi dan turut menumbuhkan minat baca buku di Tanah Air, silakan klik http://ift.tt/2niddHw dan mulailah dengan langkah kebaikan Anda.*** Candra Wibawanti.