Lemahnya Kepastian Hukum Dimata Pengusaha

Hariyadi Sukamdani
Jakarta, Info Breaking News Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai jaminan kepastian hukum di Indonesia masih sangat lemah. Hal itu memicu demotivasi atau hilangnya gairah para pengusaha untuk berinvestasi di Indonesia.
 
Contohnya diperkarakan kembali kebijakan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada salah satu obligor BLBI yang secara resmi sudah dinyatakan lunas oleh beberapa rezim pemerintahan sebelumnya.
 
Apindo juga mempertanyakan kredibilitas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diketahui mengeluarkan audit investigatif pada 2017 tanpa ada persetujuan dari pihak yang terperiksa, yakni mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).
 
"Kok bisa BPK ini mengeluarkan hasil audit investigatif tanpa ada auditornya, tanpa ada yang terperiksa. Itukan jadi pertanyaan semua orang karena menyalahi prinsip utama dari pemeriksaan dimana orang yang diperiksa mesti dikonfirmasi terlebih dahulu," kata Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani kepada wartawan, di Jakarta, Senin, (4/6).
 
Selain BPK, Apindo juga mengingatkan institusi KPK serta Pengadilan Tipikor agar tetap mengedepankan fakta-fakta hukum yang ada. Dengan begitu, kredibilitas institusi penegakan hukum negara tersebut tidak rusak di mata masyarakat.
 
"Kredibilitas KPK juga dipertaruhkan karena bila proses hukumnya seperti ini yaitu bisa menggunakan segala cara untuk menjerat seseorang termasuk hal-hal yang tidak dalam koridor. Pengadilan sendiri juga kalau tidak cermat melihat dari perkaranya itu juga nanti akan menjadi bias terhadap penegakan hukum sendiri," ujar dia.

Secara pribadi, Hariyadi menganalogikan jika kasus perkara pidana yang tengah dijalani oleh terdakwa SAT di Pengadilan Tipikor, seperti kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang menyeret nama Darmin Nasution selaku Dirjen Pajak kala itu dalam perkara keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal. Dalam perkara itu, Dirjen Pajak berwenang menerima atau menolak keberatan pajak sesuai dengan UU Perpajakan.
 
"Jangan karena tekanan publik, lalu Pengadilan mengambil keputusan yang justru membuat ketidak pastian hukum, kalau memang itu tidak bersalah harus dinyatakan tidak bersalah. Ini analogi saya, tapi karena tekanan publik, diputuskannya salah, ini kan jadi kacau dan jadi preseden, berarti kewenangan Dirjen Pajak untuk mengeluarkan atau mengabulkan keberatan pajak itu ditolak oleh keputusan Pengadilan, hal ini menjadi preseden buruk untuk Wajib Pajak dan Dirjen Pajak berikutnya juga jadi takut mengabulkan keberatan pajak, padahal kewenangannya diatur dalam undang-undangnya," kata Hariyadi.*** Mil.

Subscribe to receive free email updates: