Lombok Barat- SN - Kabid Pengendalian Penduduk Penyuluhan dan Penggerakan (P4) Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AK2B) Kabupaten Lombok Barat (Lobar) Erni Suryana menyatakan, pernikahan anak usia dini di Lobar menjadi akar masalah kesehatan khususnya kesehatan ibu dan anak.
Pernikahan yang berlanjut pada kehamilan di usia yang tidak aman berakibat meningkatnya resiko terjadinya komplikasi pada kehamilan dan persalinan yang berujung pada kematian ibu dan bayi.
"Kehamilan di usia yang tidak aman juga menyebabkan resiko keguguran, bayi lahir prematur dan lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). BBLR merupakan penyebab langsung kematian neonatal yang paling sering terjadi," kata Erni di Gerung, Lombok Barat, Jumat (1/2).
Dikatakan Erni, mengatasi persoalan nikah pada usia dini di Lobar dengan segala dampak sosial kemasyarakatan dan kesehatan tidaklah mudah terutama untuk mengurangi angka pernikahan dini yang terus berlanjut. Karena itu diperlukan gerakan bersama serta dukungan semua pihak untuk mengatasi persoalan ini.
Erni menilai, alasan menikah meski usia dini untuk menghindari fitnah, sebenarnya merupakan alasan yang digunakan sebagi pembenaran atas keputusan menikah di usia anak.
Dari hasil penelitian yang di lakukan oleh Universitas Indonesia (UI) di 2 Kecamatan di Lobar bahwa 41% pernikahan pada usia anak itu sudah terjadi kehamilan yang tidak diinginkan.
"Artinya bahwa anak-anak kita sebelum memutuskan untuk menikah mereka sudah melakukan sex bebas," kata Erni.
Erni memberi solusi untuk mencegah hal ini yakni dengan memberikan mereka pendidikan kesehatan reproduksi melalui kegiatan Posyandu Remaja dan dialog warga.
Selain itu pula dilakukan pendidikan keterampilan sesuai dengan potensi yang ada di desa masing-masing.
Dikatakan, program Gerakan Anti Merariq Kodek (Gamak) ini sendiri di mulai sejak 2016, termasuk program aliansi "Yes I Do". Evaluasipun sudah dilakukan sejak dua tahun dari 2017 dan 2018.
Dari angka 56% jumlah perempuan yg pertama kali menikah di usia di bawah 20 tahun pada 2017 turun menjadi 23 persen tahun 2018.
Terkait data perceraian yang khusus pada pernikahan di usia anak, Erni mengaku belum memiliki data. Namun tahun 2019 ini akan direncanakan untuk mengumpulkan data perceraian setiap bulan.
"Dan kami akan fokus pada perceraian di perkawinan usia anak. Namun fakta di lapangan yang kami temukan bahwa kasus perceraian yg terjadi pada perkawinan usia anak cukup tinggi dan ini akan berdampak kepada pengasuhan anak jika mereka sudah memiliki anak dari perkawinan tersebut," jelas Erni.
Kecuali itu, lanjut Erni, anak-anak yang menikah secara otomatis akan putus sekolah dan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan akan sulit karena mereka hanya memiliki ijazah SD, maksimal SMP. (her)