Beniharmoni Harefa (kanan) bersama Menkuham |Foto: istimewa |
Gunungsitoli,- Dosen Hukum Perlindungan Anak FH UPN "Veteran" Jakarta asal Pulau Nias Dr. Beniharmoni Harefa, SH,.MH menegaskan bahwa pelaku pembunuh Pendamping Desa Rikson Hutabarat harus mendapat perlindungan karena pelaku diketahui masih dikategorikan dibawah umur yakni berusia 16 tahun.
Dalam keterangan tertulisnya yang diterima Wartanias.com, Rabu (26/06/2019), Dr. Beni Harefa mengatakan bahwa pelaku harus dapat perlindungan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
"Anak tetap harus dimintai pertanggungjawaban, atas apa yang telah dilakukan, namun tidak dengan melanggar hak-hak anak. Tetap berpegang pada prinsip kepentingan terbaik anak (the best interest of the child)," ujarnya.
Sejauh ini menurut dia, hukum pidana di Indonesia tidak mengenal pertanggungjawaban pengganti, oleh sebab itu yang harus bertanggungjawab adalah anak itu sendiri (secara pidana). Namun ia mengingatkan bahwa apa yang dilakukan anak merupakan akumulasi dari apa yang diterima anak sejak dilahirkan, dibesarkan, sampai pada waktu ia melakukan tindak pidana tersebut.
"Lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, dan lingkungan sekitar anak sangat menentukan. Oleh sebab itu, pihak-pihak ini secara tidak langsung turut andil, membentuk sikap dan karakter seorang anak,"tegasnya.
Sebenarnya dalam UU SPPA menurut dia sudah ditegaskan bahwa pidana penjara sedapat mungkin dihindari dari anak. Pidana penjara sebagai the last resort (upaya paling akhir). Sehingga kemudian dalam peradilan anak dikenal konsep diversi (pengalihan) penyelesaian perkara anak dari peradilan formal ke luar peradilan formal.
Hal tersebut bertujuan menghindari anak dari penjara yang memiliki dampak buruk. Namun demikian, diversi dibatasi terhadap tindak pidana yang ancaman pidananya di bawah 5 tahun.
"Pada kasus pembunuhan Rickho H merupakan tindak pidana yang ancaman pidananya lebih dari 7 tahun, maka tidak dapat diselesaikan melalui diversi. Namun Pasal 81 ayat 6 UU SPPA membatasi bahwa pidana penjara dijatuhkan paling lama 10 tahun. Tidak boleh lebih dari 10 tahun," katanya.
Seharusnya dijelaskannya, semua pihak berperan memberi pembimbingan bagi anak termasuk orangtua, guru dan orang-orang dewasa disekitar anak. Namun jika anak yang berkonflik dengan hukum seperti ini, dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang disediakan oleh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), ada juga Pekerja Sosial (Peksos) Profesional yang disediakan oleh Dinas Sosial, serta Lembaga Perlindungan Anak seperti PKPA Nias dan semua pihak termasuk tokoh-tokoh agama, masyarakat, tokoh adat.
"Bahkan termasuk aparat penegak hukum yakni polisi, jaksa, hakim, dan pengacara memberikan bimbingan, atas penyimpangan perilaku anak, lagi-lagi dengan tetap berpegang pada prinsip kepentingan terbaik anak. Kalau psikiater pasti diperlukan. Hal ini seharusnya menjadi tugas Dinas terkait, seperti Dinas Sosial. Kalau tidak salah di kita sudah ada P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak), kalau ini dimaksimalkan maka seharusnya pelayanan seperti pelayanan medis, hukum, psikis dan rehabilitasi, menjadi tugas utama P2TP2A, memberikan pelayanan-pelayanan termasuk bagi anak bermasalahan hukum ini," tuturnya.
Kepolisian dalam penanganan kasus ini juga menurut dia tetap tunduk pada hukum acara pidana, namun jangan lupa bahwa penanganan perkara yang pelakunya masih usia anak berbeda dengan penanganan perkara dewasa. Mulai dari jangka waktu penahanannya saja kalau anak maksimal 15 hari, lebih dari 15 hari maka anak dibebaskan dari penahanan demi hukum.
Oleh sebab itu polisi harus bekerja ekstra cepat untuk menyusun BAP, tentunya dengan tetap berpegang pada prinsip the best interest of the child tadi, selanjutnya diserahkan pada JPU.
"Memang saat ini dapat dipahami emosi masyarakat termasuk netizen pada kasus ini, sedang meluap-luap. Sehingga terkadang tanpa disadari foto dan identitas pelaku dibagikan ke publik. Namun perlu diingat bahwa ada pasal 19 ayat 1 dan 2 UU SPPA, yang menegaskan bahwa identitas anak pelaku tindak pidana, wajib dirahasiakan. Identitas itu meliputi nama anak, nama orangtua, alamat, wajah dan hal lain yang dapat mengungkap jati diri anak," tegasnya.
Di pasal 97 UU SPPA diatur bahwa pelanggaran terhadap pasal ini dikenakan pidana penjara maksimal 5 tahun. Hal itu bukan bermaksud Negara melegalkan atau melindungi perbuatan jahat yang dilakukan anak, tetapi perlu ditegaskan bahwa kenakalan yang dilakukan anak tidak sama dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa.
"Anak tetaplah anak dengan segala keterbatasannya, meskipun apa yang dilakukan secara kasat mata merupakan hal sadis dan sulit diterima akal, namun Negara melalui UU SPPA menegaskan bahwa anak tetap harus mendapatkan perlindungan," tambahnya. (red)