Jakarta, Info Breaking News - Perjalanan Jaksa Agung Prasetyo yang juga merupakan Peristiwa Nasional, saat Presiden Joko Widodo menunjuk politikus Partai Nasional Demokrat (NasDem), Muhammad Prasetyo sebagai Jaksa Agung, Presiden pun menerima banyak kritik. Kritikan terutama datang dari kalangan pegiat antikorupsi dan HAM. Mereka menganggap pengangkatan tersebut sebagai ingkar janji karena sebelumnya lewat Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, Jokowi dipastikan tidak bakal memilih Jaksa Agung dari kader partai. Alasannya jelas, agar Kejaksaan lebih independen.
Ternyata, pada Kamis 20 November 2014 Jokowi justru menunjuk Prasetyo sebagai Jaksa Agung menggantikan pejabat lama Basrief Arief. Pengangkatan itu pun dikritik banyak pihak karena saat itu Prasetyo masih aktif sebagai politisi. Dia merupakan anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem periode 2014-2019 mewakili Daerah Pemilihan Jawa Tengah II yang meliputi wilayah Kabupaten Kudus, Jepara, dan Demak. Meski ia pernah menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum pada 2005, Kejaksaan di bawah Praetyo dikhawatirkan akan lebih "berbau partai" ketimbang penegakan hukum.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar, meyakini bahwa unsur partai akan sangat kentara jika Kejaksaan dipimpin oleh seorang politisi. Akan ada banyak agenda partai "menyusup" dalam setiap perkara hukum yang ditangani.
"Ini soal independensi. Kejaksaan harusnya dipimpin oleh seorang profesional yang bukan berasal dari unsur partai. Itu bermasalah karena dia akan terikat dengan agenda-agenda politik yang kita enggak pernah tahu," kata Haris
Menurut Haris, latar belakang Prasetyo berpengaruh sangat signifikan terhadap kinerja Kejaksaan sejak dia mulai memimpin pada 2014 hingga saat ini. Ia menilai kasus korupsi PT Mobile-8 yang melibatkan pengusaha sekaligus politisi Hary Tanoesoedibjo, dan kasus investasi blok Basker Manta Gummy (BMG) yang menjerat mantan Dirut PT Pertamina Karen Agustiawan, sarat aroma politik.
"Penanganan kasus-kasus tersebut lebih sebagai upaya pembersihan orang-orang dengan latar belakang politik yang berbeda dengan rezim saat ini. Seperti alat untuk balas dendam rezim," ujarnya.
Menjelang Hari Raya Idul Fitri kemarin, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bahkan menggugat Jaksa Agung karena dianggap tidak mampu menuntaskan 10 kasus kakap yang mangkrak. Gugatan praperadilan itu didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada akhir Mei lalu.
Kesepuluh perkara tersebut adalah Cesie Bank Bali (mangkrak sejak 2005), Kredit Macet Bank Mandiri di PT Lativi (mangkrak sejak 2007), Indosat IM2 (mangkrak sejak 2013), Kondensat (sejak 2018), Hibah Sumsel (penyidikan sudah berlangsung 2 tahun namun belum ditetapkan tersangkanya), Hibah Pemkot Manado terkait Wali Kotanya (penyidikan sejak September 2018), Pertamina di kasus pembelian Blok Minyak Manta Gumy Australia, Kasus korupsi Dana Pensiun Pupuk Kaltim, Kasus Dana Pensiunan Pertamina dan Kasus Victoria Securitas.
Menurut koordinator MAKI Boyamin Saiman perkara-perkara mangkrak yang digugat merupakan bukti ketidakmampuan Jaksa Agung menuntaskan kasus-kasus lama hingga akhirnya kedaluwarsa, seperti cesie Bank Bali. "Juga (kasus) baru yang awalnya semangat namun kemudian gembos seperti kasus Victoria Sekuritas," katanya.
Jaksa Agung Prasetyo membantah tudingan MAKI terkait kasus-kasus mangkrak tersebut. Menurutnya menangani kasus itu tidak seperti semudah membalik telapak tangan. "Ada faktor kesulitannya, ada kendalanya , kalau mudah diselesaikan akan cepat diselesaikan," kata Prasetyo kepada wartawan di Balai Diklat Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta, belum lama ini.
Dia menambahkan 10 kasus yang mangkrak ini merupakan kasus korupsi yang pelakunya memiliki intelektual tinggi, memiliki jaringan serta memiliki kekuasaan dan kewenangan. Sehingga, kata dia, dalam menangani kasus ini pihaknya harus sangat hati-hati.
Meski demikian Boyamin mempertanyakan komiten Kejaksaan saat menangani kasus tertentu. Misalnya dalam kasus Victoria Sekuritas dengan tersangka Susan Tanojo, Syafruddin Temenggung dkk, yang mangkrak sejak 2017. Tersangkanya bahkan sebagian besar kabur keluar negeri. Seolah tidak ada ada upaya sidang in absentia sehingga patut diduga kasus ini mendapat intervensi tingkat tinggi.
"Dulu kan kencang sampai menyita, dipraperadilankan, sampai gegap gempita datang ke kantornya, berkaitan dengan tanah di Karawang…bahkan waktu itu berkelahi juga dengan ketua DPR Setya Novanto karena ia membela Victoria, eh tiba-tiba jaksa agung-nya melempem, orangnya kabur, yang di dalam negeri tidak diperoses Syaruddin Tumenggungnya," kata Boyamin kepada wartawan.
Wajar jika Boyamin kemudian berpikir, "jangan-jangan sudah ada kompromi juga. Bisa saja berdalih, orangnya kabur, tapi kan bisa dijadikan buronon, DPO, red notice. Atau sidang tanpa kehadiran. Lah ini enggak ada gerakan apa-apa."
Transparansi masih buruk
Kejaksaan Agung juga dinilai tak transparan dalam mengelola aset negara hasil sitaan tindak pidana korupsi, utamanya di era Prasetyo. Kasus jaksa senior Chuck Suryosumpeno yang dicopot sebagai Ketua Pusat Pemulihan Aset (PPA), menurut Haris Azhar yang juga mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), perlakukan terhadap jaksa Chuck patut dicurigai sebagai sebuah sikap yang sarat kepentingan.
Chuck mendadak dipindahtugaskan menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku, tak lama setelah Prasetyo dilantik. Dia kemudian dicopot sebagai Pegawai Negeri Sipil dan menjadi tersangka kasus korupsi penyelesaian barang rampasan dan sita eksekusi. Chuck kini ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan dan tengah menjalani proses persidangan.
"Chuck dipermasalahkan secara internal tanpa kasus yang jelas. Ya gara-gara dia enggak mau bantu Prasetyo untuk mengurus beberapa aset-aset. Kalau untuk negara, kenapa Chuck digeser dari bagian PPA?" kata Haris.
Dia juga menilai penyelesaian aset sitaan negara banyak yang bermasalah, misalnya aset milik Lee Darmawan dan Hendra Rahardja dalam kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), serta aset DL Sitorus dalam kasus pendudukan tanah negara di Sumatera Utara.
"Semua itu adalah aset-aset yang diincar oleh PPA untuk dikembalikan ke negara. Hari ini enggak jelas. Enggak ada masuk dalam laporan tahunan," ucap Haris.
Kasus HAM berat sulit tuntas
Masalah lain yang juga menjadi hirauan publik terkait kinerja Kajaksaan adalah sulitnya menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Menurut peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Dio Ashar Wicaksana kepada Law-Justice.co, hal itu memang sering terjadi.
"Karena kejaksaan selalu bilang alat buki tidak cukup dari Komnas HAM. Masalahnya Komnas HAM enggak punya kewenangan upaya memaksa, yang punya itu kejaksaan," kata Dio Ashar yang menjadi peneliti MaPPI FHUI sejak 2012. Untuk itu menurut dia kejaksaan seharusnya mengambil alih kewenangan dari Komnas HAM. "Kejaksaan jangan hanya mengandalkan Komnas HAM. Jadinya lempar-lemparan." Padahal salah satu visi-misi Pemerintahan Jokowi adalah penyelesian kaus-kasus pelanggaran HAM berat.
Penanganan sejumlah kasus pelanggran HAM berat masa lalu seolah jalan di tempat. Sebut saja mulai dari mulai dari kasus dugaan pelanggaran HAM berat Trisakti, Semanggi I, II, penculikan aktivis tahun 1997/1998, kasus Talangsari (di Lampung), hingga kasus Waisor, Wamena, di Papua yang telah selesai diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Semua kasus ini seolah tak berujung pada penyelesaian. Kini, kasus HAM berat peristiwa 1965/1966 kembali diungkap Komnas HAM. Mereka meminta Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti.
Menurut Haris tidak banyak progres yang dicapai kejaksaan di bawah kepemimpinan Prasetyo terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. "Prasetyo tidak melakukan apa-apa." Dia bahkan sempat mengeluarkan pernyataan kontroversial, tentang niatnya menyelesaikan kasus-kasus tersebut lewat jalur non yudisial. Meski akhirnya mekanisme tersebut tidak terdengar lagi progresnya.
"Dia juga bikin tim Satgas anti korupsi. Hasilnya mana? Lalu ada tim pemantau pembangunan, yang mengawasi proyek pembangun Jokowi. Itu fungsinya apa? Mana bukti kerjanya? Mana dokumennya?" ucap Haris.
Menggugat Transparansi di Kejaksaan
Transparansi menjadi masalah yang akut di Kejaksaan. Haris menyayangkan ketidakterbukaan lembaga itu kepada publik mengenai data-data yang seharusnya bisa diakses masyarakat luas. Menurut Haris, hampir tidak ada data penting yang bisa diakses di laman resmi Kejaksaan.
Hal ini diamini Wana Alamsyah, peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW). Untuk mengumpulkan data, ICW biasanya memakai pendekatan kuantitatif, yakni jumlah kasus korupsi yang ditangani kejaksaan. "Kami basisnya dari media. Mengapa? Sampai saat ini Kejaksaan itu belum terbuka informasinya," kata Wana di kantornya.
Pada September 2015, ICW pernah meminta informasi kepada Kejaksaan terkait data penanganan perkara korupsi. Ada empat hal yang mereka minta, yakni deskripsi singkat kasus, nama tersangka, jumlah penyidik dan anggaran. "Nah, mereka tidak memberikan dan tidak mengatakan alasannya. Jadi, karena mereka tidak membalas kami pun berinisiatif membawa masalah ini ke sidang sengketa informasi."
Tujuannya untuk pemicu Kejaksaan menjadi lebih terbuka dalam memberikan informasi penanganan perkara korupsi ke publik. ICW menggunakan mekanisme UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Informasi dengan meminta nama perkara korupsi disertai dengan tanggal penetapan sprindik, tanggal selesainya penyidikan (P21), nama atau inisial tersangka, nilai kerugian negara, nama institusi yang menangani tingkat daerah (Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri), jumlah penyidik perkara korupsi, anggaran penanganan perkara korupsi, dan laporan tahunan masing-masing institusi.
"Tata kelola informasi di Kejaksaan itu buruk. Wajah utamanya kan di website, tapi enggak ada yang bisa kita ambil. Kita mau cari bahan segala macam enggak bisa. Jadi seperti banyak yang ditutup-tutupi."
Mutasi dan Promosi di Kejaksaan
Persoalan transparansi ini pula yang membuat Kejaksaan Agung sempat perang argumentasi dengan Komisi Kejaksaan (Komjak) di media massa. Anggota Komjak Ferdinand Andi Lolo, dalam perbincangannya dengan Law-justice.co, menunjukkan rasa frustasi dalam menghadapi lembaga yang seharusnya mereka awasi. Pasalnya, Kejaksaan tidak pernah melibatkan Komjak dalam setiap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kepentingan publik, begitu kata Ferdinand.
"Padahal kami perwakilan publik. Atinya, kami punya tanggung jawab sosial dan tanggung jawab moral kepada publik untuk memastikan bahwa orang-orang di Kejaksaan itu adalah pejabat yang memenuhi kriteria yang bisa melayani publik," kata Ferdinand saat ditemui beberapa waktu lalu di Universitas Indonesia, tempat ia mengajar di Jurusan Kriminologi.
Yang dimaksud Ferdinand adalah tentang proses promosi di tubuh Kejaksaan Agung. Kasus terakhir adalah promosi anak Prasetyo, Bayu Adhinugroho Arianto dari jabatan terakhirnya sebagai Asisten Bidang Intelijen (Asintel) Kejaksaan Tinggi Bali (Kejati Bali) naik pangkat menjadi Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Barat. Selain Bayu, ada nama Sugeng Riyatna yang dipromosikan menjadi Kajari Jakarta Pusat dan Anang Supriatna yang berpromosi menjadi Kajari Jakarta Selatan.
Selama ini, Komjak tidak pernah dilibatkan. Bahkan lebih sering para anggota Komjak mengetahui informasi promosi jabatan para petinggi Korps Adhyaksa ini dari media massa. Artinya, mereka sama sekali tidak diinformasikan tentang rencana dan proses promosi, mutasi, dan rotasi di Kejaksaan. Keputusan tersebut selalu diambil melalui rapat pimpinan di Kejaksaan, tanpa melibatkan satupun unsur eksternal.
"Sistem tersebut terkesan sangat eksklusif, karena jabatan-jabatan yang diputuskan dalam rapat pimpinan tersebut adalah jabatan strategis dan berkaitan dengan tanggung jawab publik," ujarnya.
Komjak berpendapat mereka layak untuk dilibatkan dalam proses rotasi, mutasi, dan promosi di Kejaksaan karena tugas dan fungsi lembaga tersebut terkait dengan Sumber Daya Manusia (SDM). Meski tidak tertuang dengan jelas dalam Perpres No. 8 tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan, Ferdinand yakin bahwa Kejaksaan tidak boleh mengabaikan Komjak dalam proses mutasi, rotasi, dan promosi.
"Keliru kalau ada yang mengatakan bahwa Komjak tidak ada hubungannya dengan masalah mutasi, rotasi, dan promosi. Lingkup tentang promosi dan mutasi itu masuk dalam tugas kami," tegas Ferdinand.
Sebagai contoh, kata dia, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) punya peran dalam proses pemilihan Kepala Kepolisian RI dan sering memberi masukan untuk jabatan-jabatan strategis lainnya. Begitu pun dengan Komisi Yudisial selalu dilibatkan proses perekrutan hakim Agung di Mahkamah Agung.
"Terus kenapa Komjak tidak dilibatkan? Kami dari Komjak yang jelas-jelas diciptakan oleh presiden untuk melakukan penilaian atas SDM tidak diikutkan."
sementara itu menurut kepala pusat penerangan hukum Kejaksaan Agung (Kapuspen) Mukri, tidak ada keharusan bagi Kejaksaan untuk mengikutsertakan pihak eksternal dalam proses mutasi, rotasi, dan promosi di Kejaksaan. Dengan begitu, wajar jika Komjak pun tidak dilibatkan.
"Itu bukan hal yang baru. Tidak ada ketentuan dan keharusan untuk melibatkan atau mengikutsertakan pihak lain di luar struktur. Tidak benar kalau ada pihak yang mengatakan proses tersebut tidak terbuka dan tidak transparan," kata Mukri, dalam siaran persnya.
Termasuk mengenai promosi anak Jaksa Agung Prasetyo, Bayu Adhinugroho, yang menurut Mukri telah melalui rapat pimpinan kolektif kolegial antara Jaksa Agung, wakil Jaksa Agung, serta para Jaksa Agung Muda. Pengambilan keputusan mengacu pada kriteria Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, dan Integritas (PDLI).
"Keputusan Rapat Pimpinan secara kolektif, kolegial, dan terbuka semata-mata mempertimbangkan unsur PDLI tetap sebagai dasar penilaian dan prasyarat utama yang dipertimbangkan untuk rotasi, mutasi, dan promosi," ucap Mukri.
Ferdinand justru mempertanyakan klaim transparansi dari Kejaksaan. Menurut dia, tidak ada transparansi dalam sistem yang tertutup untuk publik. Selama ini Kejaksaan dianggap hanya bermain retorika tentang transparansi dan keterbukaan, seolah-olah publik sudah terlibat dalam pengambilan keputusan yang strategis. Kenyataannya, ucap dia, PDLI tidak memiliki tolok ukur yang jelas agar publik bisa memaklumi setiap keputusan tentang rotasi, mutasi, dan promosi.
"Definisinya dedikasi itu apa? Tidak pernah ada parameter yang jelas. Prestasi itu seperti apa? Kan cuma pimpinan yang tahu apa itu dedikasi dan prestasi. Itu hanya pernyataan. Dalam praktiknya, transparansi seperti itu apakah dirasakan? Belum dirasakan!" tegas Ferdinand.
Mantan jaksa yang dulu bertugas di Pusat Pemulihan Aset itu mengatakan, kalau Kejaksaan terus bersikap demikian, tidak hanya akan berdampak buruk terhadap tingkat kepercayaan publik. Merit sistem yang tidak berjalan sebagaimana mestinya juga bakal berdampak pada kepastian jenjang karier jaksa-jaksa di daerah.
Sebagai anggota Komjak yang memegang pengawasan di wilayah Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Bangka Belitung, Ferdinand mengungkapkan, ketidakpastian karier jaksa menjadi salah satu masalah utama yang sering dikeluhkan oleh jaksa-jaksa di daerah.
"Karier mereka terhambat dan tidak maju-maju. Mereka mengeluhkan, ada jaksa yang tiba-tiba melesat kariernya seperti roket. Kita tidak pernah mendapatkan penjelasan yang memuaskan. Bahkan kami tidak pernah diajak diskusi, bagaimana sih sistem meritnya?"
Sebagai contoh, ketika Kejaksaan mengatakan alasan promosi karena yang bersangkutan berhasil menangkap salah satu buron, Ferdinand bertanya balik, "Ada berapa banyak jaksa yang berhasil menangkap buron? Coba kita buat satu list yang valid, lalu kita bandingkan apple to apple."
Apalagi jika jaksa tersebut dipromosikan untuk memegang jabatan strategis di Jakarta. Perlu kualifikasi yang sangat baik dan bisa dibandingkan dengan jaksa-jaksa yang setara. Yang jadi problem adalah, Komjak sebagai perwakilan publik tidak memiliki akses yang memadai untuk menjustifikasi klaim-klaim tersebut.
Ferdinand berharap Kejaksaan di masa depan mampu lebih transparan. Publik perlu diberi ruang dalam setiap pengambilan keputusan yang strategis, karena hal itu berkaitan langsung dengan penegakan hukum di Indonesia. Ada belasan ribu jaksa di Indonesia yang memiliki peluang untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di jajaran kepemimpinan. Jaksa-jaksa terpilih itu harus memiliki kualifikasi yang jelas.
"Sekarang bagaimana masyarakat tahu orang itu punya kualifikasi dan kemampuan lebih dari yang lain, kalau yang memilih mereka-mereka sendiri," ujarnya.
Soal transparansi di Kejaksaan, anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala yang juga mantan anggota Kompolnas itu mengatakan, jika dibandingkan dengan beberapa lembaga penegak hukum lainnya, seperti Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Mahkamah Agung, Kejaksaan memiliki grade yang lebih rendah dalam hal transparansi.
"Di Kejaksaan itu masih ada ruang yang harus ditingkatkan soal kapabilitas, transparansi, dan manajemen SDM. Kepolisian masih lebih besar grade-nya untuk keterbukaan, transparansi, dan lebih reformis," kata dia kepada Law-justice.co saat ditemui di kantor Ombudsman RI, Selasa (18/6).
Adrianus menuturkan, Ombudsman sempat meminta keterangan secara tertutup dari Kejaksaan mengenai sistem promosi yang ramai diributkan publik. Pasca pertemuan itu Ombudsman tiba-tiba banyak menerima "surat kaleng" tentang isu nepotisme di Kejaksaan Agung. Namun Adrianus menegaskan, pihaknya tidak bisa terlibat lebih jauh di luar urusan pelanggaran administratif.
"Kami banyak mendapatkan surat kaleng tentang si anu- si anu. Namanya surat kaleng memang susah dipertanggung jawabkan.
"Tapi kalau dibilang apakah itu salah satu indikasi ketidakterbukaan Kejaksaan Agung, ya iya. Kesannya tidak maju, tidak transparan, tidak (memberikan) semuanya yang terbaik. Ada ruang untuk KKN," ucap Adrianus.
Namun Adrianus juga menyoroti sistem pengawasan yang tidak berjalan di Kejaksaan, termasuk peran Komjak yang masih sangat minim. Ia mengkritik Komjak yang terkesan sungkan untuk menegur Kejaksaan. Salah satu kendala, menurut dia, modalitas dasar hukum dan SDM di Komjak yang lemah.
"Para anggota Komjak harus orang-orang yang berani untuk fight. Begitu ada situasi yang membutuhkan keberanian, semua saling menahan. Saling menjaga dan medorong. Jangan ewuh pakewuh. Repot kalau kerja seperti itu, enggak bakal jalan."
Retno Kusumastuti, istri mantan jaksa Chuck Suryosumpeno yang saat ini jadi tersangka kasus pemulihan aset di Kejaksaan Agung, menambahkan, selama ini Kejaksaan memang terkesan tidak begitu peduli dengan apa yang diutarakan oleh Komjak.
"Kejaksaan tetap jalan terus tuh. Enggak seperti, kalau kita dengar Komisi Yudisial ngomong sesuatu, akan jadi catatan penting oleh Mahkamah Agung," ujar dia.
Kejaksaan tidak boleh terus seperti itu, kata Retno. Istitusi itu harus mulai membuka diri terhadap kritikan dan tuntutan publik karena Kejaksaan punya kewajiban menegakkan norma hukum di masyarakat.
"Tiga hal yang selalu dituntut publik: efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Mereka kadang-kadang mengklaim sudah memenuhi target, tapi target yang ditetapkan oleh mereka sendiri. Saya rasa, tidak ada satupun dari ketiga hal itu yang memenuhi target dari publik," ujar Retno.
Direktur Lokataru Haris Azhar menilai, salah satu penyebab kenapa Kejaksaan seolah luput dari pengawasan publik, karena lembaga itu tidak berada pada ujung tombak dalam setiap perkara hukum. Selama ini Kejaksaan dinilai sebagai lembaga penyokong dua institusi lainnya, yakni Kepolisian dan Peradilan.
"Seperti hilang dalam pengamatan publik. Nanti, urusannya sama publik kalau sudah di bagian penuntutan. Sementara penyelidikan dan penyidikan, kan urusannya sama polisi. Makanya publik lebih bapernya sama polisi. Bukan sama Kejaksaan," jelas Haris.
Kejaksaan, lanjut Haris, seolah-olah menikmati ketiadaan pengawasan itu. Jarang sekali mendapat sorotan tajam dari publik yang mudah marah. Hal itu membuat Kejaksaan cenderung luput dari pantauan publik, saat ada kasus-kasus penegakan hukum yang "janggal".
"Tapi dengan ketiadaan itu, dia seperti bermain di ruang-ruang belakang. Padahal saat kasus itu masuk ke Kejaksaan, ada banyak ruang dimana mereka bisa manuver memanfaatkan kasus-kasus tersebut," pungkas Haris.
Dengan segala persoalan di lingkungan Kejaksaan Agung yang mencuat selama lima tahun terakhir, berapa nilai yang patut diberikan kepada lembaga itu di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Prasetyo?
"Dia mah jeblok. Dari 1-10, saya pikir dapat nilai 2 atau 3 lah," jawab Haris.
Kasus-kasus Mangkrak
Law-justice.co menghimpun kembali sejumlah kasus yang mangkrak di Kejaksaan. Berikut ini daftarnya:
- Kasus 'papa minta saham'. Kasus 'papa minta saham' terkait dengan dugaan pencatutan nama Presiden RI Joko Widodo dalam perbincangan saham Freeport, antara Presiden PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, mantan Ketua DPR Setya Novanto, dan pengusaha Riza Chalid. Dalam kasus Freeport, Kejaksaan telah meminta keterangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin serta Setya Novanto. Namun kasus ini tak jelas muaranya dan cenderung diendapkan menyusul terpilihnya Setya sebagai ketua umum Partai Golkar. Setya Novanto sendiri hingga saat ini menjadi terpidana dalam kasus E-KTP.
- Kasus PT Pelita Air Service (PT PAS). Kasus dugaan penjualan aset PT PAS dan kasus penurunan Fasilitas Akta Kredit Investasi Bank Mandiri kepada PT Tri Selaras Sapta (TSS) untuk pembangunan hotel di Canggu, Bali. Kasus penjualan aset PT PAS berawal saat pelelangan aset anak usaha perusahaan pelat merah PT Pertamina, menjual aset yang berupa suku cadang helikopter bekas jenis Puma SA-330 dan Super Puma AS-332, Mei 2013. Sejak awal sudah ada tanda-tanda mencurigakan pada penjualan aset itu. Pada penyelenggaraan lelang, ternyata pelaksanaannya mendahului usulan pelepasan aset. Akibatnya, terdapat perbedaan antara barang yang dilelang dengan yang dimintakan persetujuan ke dewan pengawas/komisaris perusahaan. Namun, setelah proses lelang dan dilakukan penyerahan barang, tool pesawat sebanyak 5 boks termasuk barang yang dijual. Tak hanya itu, 628 item spare part senilai USD 246.978,28 yang tidak masuk dalam usulan lelang dan tidak terdapat di perjanjian jual beli juga ikut diserahkan. Belakangan, manajemen PT PAS sudah menarik tool yang ikut terjual itu dan sekarang diamankan di Bandara Pondok Cabe, Tangsel. Sedangkan ratusan item spare part lainnya belum jelas keberadaannya.
- Kasus PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dan PT Grand Indonesia. Kasus dugaan penyalahgunaan kontrak antara PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dan PT Grand Indonesia. Kasus ini berpotensi merugikan negara cukup besar, tetapi malah dihentikan dan dilarikan ke perdata. Ini patut dipertanyakan.
- Kasus Bank Mandiri dengan debitur PT Lativi Media Karya. Status tiga tersangka yakni Abdul Latief, Hasyim Sumiana dan Usman Dja'far masih dipertanyakan.
- Kasus pembobolan dana Bali Tour Development Corporation (BTDC) di Bank Permata, Kenari, Jakarta Pusat, dengan tersangka Dwika Noviarti (Kepala Bank Permata Cabang Kenari) dan Direktur Keuangan BTDC Solichin juga tak jelas penuntasannya.
- Kasus jaringan sampah di Dinas PU DKI, KejAgung juga tengah meneliti tidak berlanjutnya berkas perkara mantan Kepala Dinas PU DKI Jakarta Ery Basworo. Padahal tersangka lain telah dibuktikan bersalah.
- Kasus Bioremediasi Chevron. Satu tersangkanya, Alexia Tirtawidaja, hingga kini masih buron. Sementara eksekusi uang pengganti sebesar Rp 100 miliar baru dibayar Rp1 miliar. Namun jaksa terkesan diam dan tak menindaklanjutinya.
- Kasus penyalahgunaan frekuensi PT IM2, anak usaha PT Indosat. Dua orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, Johnny Swandy Sjam dan Hari Sasongko, tidak jelas kelanjutannya hingga saat ini.
- Kasus penjualan cessie PT Victoria Securities International. Kasus ini telah ditingkatkan statusnya ke penyidikan pada 2015. Ada 4 orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, yaitu mantan Kepala BPPN Syafruddin Tumenggung, Analis Kredit BPPN Harianto Tanudjaja, serta dua mantan petinggi PT Victoria Sekuritas Indonesia (VSI) yang diketahui adalah Rita Rosela selaku Direktur dan Suzana Tanojo selaku Komisaris. Kasus ini terkendala karena Rita Rosela, Suzana Tanojo, dan Harianto Tanudjaja masih buron. Kejaksaan mengatakan perkara ini masih akan terus berlanjut.
- Kasus manipulasi restitusi pajak PT Mobile-8. CEO MNC Grup Harry Tanoesoedibjo telah diperiksa. Namun kasus ini tak kunjung ada tersangka.
- Kasus Kondensat. Kasus ini bermula saat PT. TPPI ditunjuk oleh BP Migas untuk mengelola kondensat pada periode 2009 sampai 2011. Namun, pada Mei 2009 sudah dilaksanakan lifting, padahal kontrak belum dibuat. BP Migas juga melakukan penunjukan langsung penjualan kondensat, sehingga melanggar Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS 20/BP00000/2003-S0 tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjualan Minyak Mentah/kondensat Bagian Negara. Penjualan kondensat ternyata tidak sesuai dengan apa yang direncanakan. Pertamina awalnya menjual sebagai bahan bakar Ron 88, namun oleh PT TPPI diolah menjadi LPG melalui perusahaan miliknya Tuban LPG Indonesia (TLI). Berdasarkan hasil penghitungan kerugian negara (PKN) yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), diketahui kerugian negara atas kasus tersebut sebesar US$ 2,7 miliar atau setara Rp 38 triliun.
Sudah ada 3 tersangka dalam kasus ini, yaitu yakni Raden Priyono (mantan Kepala BP Migas), Djoko Harsono (mantan Deputi Finansial BP Migas), dan Honggo Wendratno (Direktur PT Trans Pacific Petrochemical Indotama/TPPI). Berkas perkara ini sudah dinyatakan lengkap oleh penyidik polri, tapi Kejaksaan enggan melimpahkannya ke tahap II, karena Honggo Wendratno masih buron. *** Mil.