PPDB, Protes Masyarakat dan Mendikbud Baru

JC Tukiman Taruno Sayoga, Ph.D

Jakarta, Info Breaking News - Dinas Pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota mana pun, saat ini tengah menghadapi berbagai bentuk protes masyarakat terkait dengan kebijakan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2019/2020. Seloroh yang menyertainya dan berseliweran dalam masyarakat  ialah: "Apa pun kebijakannya, protes orangtua/masyarakat keniscayaannya."

Protes tahun ini berbeda dari protes tahun lalu, berbeda pula dengan tahun-tahun sebelumnya, dan sumber atau pemicunya selalu berkaitan dengan kebijakan bahkan ada yang menyebutnya sistem penerimaan peserta didik  baru yang diterapkannya. Ledekannya bukan lagi "ganti Menteri ganti kebijakan," tetapi "ganti tahun ajaran, ganti ujaran orangtua/masyarakat." Melihat siklus tahunan seperti ini, tentu pertanyaan besarnya ialah: Kebijakan seperti apa akan membebaskan Mendikbud (baru?) dari protes masyarakat?

"Jawabannya sebenarnya hanya satu, yakni pada saat Kemendikbud dan seluruh jajarannya konsisten dan konsekuaen menjalankan amanat Undang-undang Sisdiknas perihal manajemen berbasis sekolah (MBS). Tegasnya, pada saat otonomi sekolah (substansi utama MBS) terimplementasi di setiap sekolah, pada saat itu pula "akan berhenti" berbagai protes orangtua/masyarakat," ujar dosen Unika Soegijapranata Semarang, JC Tukiman Taruno Sayoga, Ph.D.

Taruno mengatakan, menegaskan kembali pentingnya MBS sebenarnya sekedar menyegarkan ingatan massal saja, betapa selama lebih dari sepuluh tahun (antara 2004 – 2015) dunia pendidikan dasar dan menengah kita bergelut dengan upaya menjadikan setiap sekolah (satuan pendidikan) semakin otonom dalam arti mandiri.

"Ketika mengawali, tekanan otonomi (kemandirian) ada pada tiga titik simpul, yakni simpul kemandirian kepala sekolah dalam aspek managerialnya, simpul kemandirian guru dalam pembelajarannya, dan kemandirian orangtua/komite sekolah/masyarakat dalam berperan serta di sekolah. Dalam perkembangannya, tiga titik simpul itu berkembang dengan sejumlah "tuntutan baru" termasuk di dalamnya tuntutan penerapan kurikulum 13. Seiring dengan perkembangan dan banyaknya tuntutan baru, implementasi MBS meredup karena titik simpulnya menjadi semakin banyak. Kepala sekolah tidak lagi berfokus pada aspek managerial, demikian juga guru-guru semakin terengah-engah karena tawaran model pembelajaran yang disebut "semakin menantang" dan peranserta orangtua/masyarakat terbuyarkan oleh jargon sekolah gratis bahkan terakhir oleh aliran deras dana desa," terang Taruno.

Protes orangtua/masyarakat terjadi karena ketika mereka tidak tahu persis seluk beluk sekolah; dan orangtua/masyarakat tidak tahu segala permasalahan sekolah karena tidak ikut (lagi) memikirkan sekolah lewat peransertanya seuai dengan kandungan substansial MBS. 

Taruno juga menjabarkan tantangan-tantangan yang akan dihadapi oleh Mendikbud pada masa mendatang. Tantangan internalnya yakni harus fokus kepada peningkatan sumberdaya manusia (SDM) tenaga pendidik dan kependidikan. Pengawas, Kepala sekolah, dan guru saya kategorikan sebagai tenaga pendidik utama; sedangkan menteri, dirjen, gubernur, bupati/walikota dan sebagainya sampai ke staf di dinas pendidikan adalah tenaga kependidikannya. Dengan kata lain, tantangan internal Kemdikbud 5 (lima) tahun ke depan harus hanya difokuskan ke pengembangan SDM tenaga pendidik dan kependidikannya, lupakan (dulu) pembangunan gedung-gedung dan infrastruktur lainnya, atau pun aspek regulasi baru, fokus ke pembenahan insan-insan.

Tantangan eksternalnya adalah pengembangan masyarakat, karena masyarakatlah yang sebenarnya pemilik sekolah itu.  Seorang akademisi India terkemuka, Pratap Bhanu Mehta, menggambarkan perbedaan antara masyarakat China dan masyarakat India demikian: "China adalah masyarakat tertutup dengan pikiran terbuka, sementara India adalah masyarakat terbuka, tetapi dengan pikiran tertutup." Tentu kita bertanya: Bagaimana masyarakat Indonesia? Tidak terlampau keliru kalau disebutkan betapa masyarakat Indonesia itu setengah terbuka dengan pikiran yang setengah terbuka juga. Setengah terbuka, sama saja maknanya dengan setengah tertutup.

Makna terkait dengan pengembangannya, ialah masyarakat Indonesia yang hidup dalam berbagai siklus rutinitas tetapi serba tidak pasti, perlu bahkan harus selalu diajak untuk maju. "Pengembangan SDM orangtua/masyarakat kunci utamanya adalah diajak dan diajak terus lewat berbagai pendampingan. Dengan cara begitu lambat laun hal-hal yang selama ini dianggap tidak pasti dapat semakin diyakini sebagai sebuah kepastian; hal-hal yang dulunya dirasakan sebagai tidak mungkin akan berubah menjadi sesuatu yang ternyata mungkin. 

Jadi, hal-hal yang semula dilihat sebagai rutinitas namun tidak pasti akan menjadi keniscayaan; seperti misalnya ternyata masyarakat dapat sangat berperanserta dalam pendidikan anak-anaknya baik di rumah maupun di sekolah," kata Taruno yang juga sempat menjadi panelis pada debat kelima pilpres 2019.

Lebih lanjut ia mengatakan, bila proses pengembangan masyarakat seperti ini dapat berjalan terus, maka mimpi Jakob Oetama yang menyebutnya Manusia Baru Indonesia, akan terwujud.

"Ada tiga ciri utama Manusia Baru Indonesia, yakni (a) manusia sadar iptek, (b) manusia kreatif, dan (c) manusia beretika-solidaristis. Terutama berkaitan dengan manusia kreatif, menghidupi kembali hal-hal yang telah pasti dikategorikan sebagai manusia mandiri yang dengan sungguh-sungguh menghidupi kehidupan kendati dengan segala keterpaksaan. Tanpa sikap mandiri, manusia terus hidup tergantung, penuh protes, kurang ada gerak memperbaiki hidupnya, tidak ada nafsu menciptakan peluang dan selalu menunggu diberi kesempatan," pungkasnya. ***Vincent Suriadinata

Subscribe to receive free email updates: