Umbu Rauta: Presiden Tidak Boleh Tersandera Kepentingan Parpol Pengusung

Pengamat Hukum Tata Negara FH UKSW, Dr. Umbu Rauta SH, M.Hum

Jakarta, Info Breaking News - Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan oleh publik perihal siapa-siapa saja yang akan masuk Kabinet Kerja Jilid 2. Partai Politik Koalisi Indonesia Kerja pun telah menyodorkan sejumlah nama kadernya untuk dipilih menjadi menteri. Tidak hanya itu, ada pula parpol yang terang-terangan mengharapkan mendapatkan sejumlah kursi di kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin.

PKB menjadi parpol pertama yang tampil terbuka bicara soal sodoran menteri ke Jokowi-Ma'ruf. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) berharap partainya mendapat 10 nama. Hal ini dia sampaikan pada momen bulan puasa kemarin. "Moga-moga jumlah kursi yang diraih minimal 60 DPR RI, moga-moga yang jadi menteri minimal 10 menteri dari PKB. Namanya berdoa kan boleh. Berdoa 10 dapat 9 juga alhamdulillah. Semoga dikabulkan Allah," ucap Cak Imin.

Sedangkan PPP kalau dibolehkan Jokowi, memang meminta lebih dari satu kursi menteri. Sebab, dalam Pilpres 2019, mereka merasa ikut berjuang dari awal untuk memenangkan pasangan capres-cawapres Jokowi-Ma'ruf. Beda halnya dengan Pilpres 2014, di mana PPP bergabung belakangan di koalisi Jokowi-Jusuf Kalla, sehingga PPP hanya mendapat satu kursi, yaitu Menteri Agama.

"Secara tradisional, selama ini PPP punya pos Kementerian Agama, Kementerian Sosial, dan Kementerian UKM. Tapi secara pribadi dia berharap partainya tidak kebagian lagi pos Kemenag dan mendukung jika pos tersebut diberikan kepada Nahdlatul Ulama. Alasannya adalah untuk pertanggungjawaban moral kepada publik," terang Arsul Sani, Sekjen PPP.

Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto mengklaim partainya memiliki banyak kader potensial yang bisa mengisi posisi menteri. Dia berharap Golkar dapat berpartisipasi lebih aktif di pemerintahan mendatang. Hal ini tidak lain karena Golkar adalah partai yang pertama kali mengusung Jokowi untuk maju kembali pada Pilpres 2019. Sementara itu, pada periode sebelumnya, Golkar baru bergabung belakangan karena mendukung Prabowo-Hatta Rajasa.

Di lain sisi, Ketua Umum Partai Nasdem menegaskan bahwa partainya tidak akan mengajukan nama menteri kecuali diminta Presiden Jokowi. Saat diminta Nasdem baru akan menyodorkan nama kader pilihannya.

Paloh mengungkapkan, jika sistem pemerintah di Indonesia adalah presidensial. Sehingga pemilihan nama menteri adalah hak prerogatif dari Jokowi selaku presiden terpilih. "Kita harus bisa terus menerus konsisten dengan pemikiran kita. Bahwa apa yang diyakini oleh pemahaman NasDem dalam menyusun lalu lintas policy kebijakan. Termasuk mengisi kabinet dengan sistem presidensial, presiden miliki hak prerogatif," terangnya.

Pengamat hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (FH UKSW), Dr. Umbu Rauta SH., M.Hum., mengungkapkan bahwa sejatinya, dalam sistem presidensil yang dianut oleh Indonesia, tidak ada keterkaitan pengisian jabatan kabinet dengan tingkat dukungan dari DPR. "Baik Presiden dan DPR sama-sama memperoleh dukungan langsung dari rakyat melalui Pemilu. Itu sebabnya dalam Pasal 17 UUD 1945, kewenangan pengangkatan dan pemberhentian Menteri ditangan Presiden. DPR tidak memiliki kewenangan untuk "memgimpeach" Presiden dan Wakil Presiden hanya karena persoalan politik seperti era Soekarno dan Abdurrahman Wahid," paparnya.

Namun penentuan nama-nama menteri yang bisa masuk ke kabinet tidaklah mudah. "Karena basis pencalonan presiden dan wakil presiden hanya menjadi domain partai politik, maka dalam praktik pemerintahan, partai politik pengusung merasa berjasa mengusung meski keterpilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh Pemilih. Hal ini yang menyebabkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih "tersandera" oleh investasi politik partai politik dimaksud," kata Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi FH UKSW ini.

Lebih lanjut Umbu Rauta menjelaskan, publik sebenarnya mengharapkan kabinet diisi oleh orang-orang yang profesional dan bisa bekerja seirama dengan visi misi Jokowi-Ma'ruf Amin. Disinilah diperlukan keberanian dan perasaan tanpa beban untuk menentukan siapa saja yang berhak menduduki kursi menteri.

"Seharusnya untuk periode kedua, Presiden Jokowi mesti konsisten dengan pernyataan bahwa beliau tidak memiliki beban apapun atau boleh jadi beliau tidak memiliki rasa kuatir atau bahkan ketakutan dengan siapapun sejauh niat dan tindakan bersifat populis atau untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Dalam konteks demikian, Presiden Jokowi pun tidak boleh terbeban atau bahkan tersandera dengan kepentingan parpol pengusung dalam pengisian jabatan kementerian. Presiden harus benar-benar mewujudkan hak Prerogatif dalam menentukan personalia yang mengisi jabatan Kementerian yang mampu bekerja keras untuk mewujudkan visi dan misi," kata Umbu. ***Vincent Suriadinata


Subscribe to receive free email updates: