Ketua MA, Prof. Hatta Ali saat hadir dalam Seminar Nasional Efektivitas Rehabilitasi sebagai Pemidanaan Terhadap Penyalah Guna Narkotika |
Jakarta, Info Breaking News - Mahkamah Agung menggelar seminar nasional bertajuk "Efektivitas Rehabilitasi sebagai Pemidanaan Terhadap Penyalah Guna Narkotika" pada Rabu, 27 November 2019 di Hotel Holiday Inn, Kemayoran, Jakarta.
Hadir sebagai keynote speaker Ketua MA, Prof. Dr. Hatta Ali, SH., MH., dan 4 narasumber lainnya yakni Ketua Kamar Pidana MA, Dr. Suhadi SH., MH., Direktur Tindak Pidana Narkoba dan Zat Adiktif Lainnya, Dr. Heffinur SH., M.Hum., Widyaiswara Ahli Utama BNN Dr. dr. Diah Setia Utami, dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Dr. Sri Puguh Budi Utami.
Dalam paparannya, Hatta Ali mengatakan rehabilitasi jauh lebih efektif dibandingkan dengan pemidanaan bagi penyalahguna narkotika. Hal ini disebabkan karena rehabilitasi lebih menunjukkan kebaikan untuk kesembuhan penyalahguna narkotika. Menurutnya, pendekatan rehabilitasi sebagai salah satu tujuan dibentuk UU Narkotika harus dipandang dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.
"Dari sisi filosofis pengaturan tentang rehabilitasi medis dan sosial tidak bisa dilepaskan dari landasan filosofis keberadaan negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Di dalam konstitusi yang memuat falsafah Pancasila tersebut secara jelas menegaskan negara harus memberi perlindungan bagi segenap bangsa Indonesia termasuk memberikan perlindungan kesehatan," ungkapnya.
Sedangkan dalam konteks sosiologis, rehabilitasi diatur dalam UU Narkotika sebagai salah satu sarana mengembalikan keseimbangan masyarakat yang telah rusak akibat perbuatan yang mengganggu keselarasan hidup bermasyarakat.
Pada sisi yuridis, peraturan rehabilitasi bagi pecandu merupakan proyeksi terhadap UU terdahulu yang mengatur Pemberantasan Narkotika melalui ancaman penjara pidana denda hingga pidana mati. Namun, kenyataannya menimbulkan kecenderungan yang meningkat baik secara kuantitatif dan kualitatif serta meluas di kalangan remaja. Sehingga perlu rehabilitasi yang bisa memberikan penyembuhan kepada pecandu dan penyalahguna narkotika untuk bisa kembali ke masyarakat.
Seminar Nasional Efektivitas Rehabilitasi sebagai Pemidanaan Terhadap Penyalahgunaan Narkotika |
Narasumber lainnnya, Dr. Suhadi menerangkan bahwa kewenangan hakim untuk memerintahkan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika menjalani rehabilitasi bersifat fakultatif yakni bukan wajib, sehingga terhadap penerapan Pasal 103, Mahkamah Agung mengeluarkan kebijakan dengan menerbitkan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 juncto SEMA Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Direktur Tindak Pidana Narkoba dan Zat Adiktif Lainnya, Dr. Heffinur SH., M.Hum., menjelaskan syarat tersangka/terdakwa/anak yang dapat direhabilitasi medis dan/atau sosial dalam perspektif Jaksa Penuntut Umum."Mereka positif menggunakan narkotika (BAP hasil laboratorium), ada rekomendasi dari Tim Asesmen Terpadu, tidak berperan sebagai bandar, pengedar, kurir atau produsen, bukan merupakan residivis kasus narkotika dan pada saat ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti atau dengan barang bukti yang tidak melebihi jumlah tertentu," jelas Heffinur.
Ditinjau dari segi medis, Dr. dr. Diah Setia Utami memaparkan, untuk menentukan jenis terapi dan rehabilitasi, diperlukan assesmen menyeluruh (komprehensif) guna menentukan jenis terapi/rehabilitasi yang sesuai, apakah dilaksanakan rehabilitasi bersifat voluntary atau bersifat compulsory atau wajib.
"Misalnya, kebijakan rehabilitasi di Australia terhadap penyalah guna narkotika dengan pemberlakuan drug court sejak tahun 1999 bertujuan untuk mengalihkan pecandu narkotika dari sistem hukuman masuk ke dalam rehabilitasi, serta dalam drug court dipekerjakan profesional kesejahteraan sosial, kesehatan serta ikut serta komunitas, dan pecandu mendapat program rehabilitasi selama 12 (dua belas) bulan," paparnya.
Para narasumber yang hadir dalam acara seminar yang dilaksanakan di Hotel Holiday Inn, Kemayoran, Jakarta |
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Dr. Sri Puguh Budi Utami menambahkan, penerapan ide Double Track System menuntut adanya kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan."Hal ini bisa diterapkan bagi pelaku penyalahgunaan narkotika sehingga efek jera dari penyalahgunaan narkotika dan proses penyembuhan dari pelaku kejahatan narkotika tersebut dapat berjalan secara efektif," ungkap Sri Puguh.
Sebagai penutup disimpulkan bahwa perlu adanya tindakan lain seperti kerja sosial, treatment/konseling dan denda selain tindakan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika, korban penyalahguna Narkotika maupun terhadap Penyalah Guna Narkotika yang diatur dalam Undang-undang Narkotika sehingga pemidanaan adalah pilihan terakhir terhadap Pecandu Narkotika maupun terhadap Penyalah Guna Narkotika atau korban penyalahguna Narkotika. ***Vincent Suriadinata