Andi Malarangeng, Doktor Ilmu Politik, Northern Illinois University, AS |
Jakarta, Info Breaking News - Jumlah kasus positif Covid-19 per 6 April 2020 di negeri kita adalah sebanyak 2.491 kasus dan yang meninggal 209. Artinya, tingkat kematian kita berada di angka 8,4%. Ini membuat tingkat kematian kita karena Covid-19 ini menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Bandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia (1,6%), Thailand (1%), Filipina (4,5%), atau Singapura (0,4%), atau bahkan Vietnam dengan 0 kematian.
Sementara itu, sesuai pemodelan BIN yang digunakan pemerintah, diperkirakan jumlah kasus positif Covid-19 akhir April sebanyak 27.307 kasus, akhir Mei 95.451 kasus, akhir Juni 105.765 kasus, dan akhir Juli 106.287 kasus. Dengan tingkat kematian 9% maka perkiraan kematian sebanyak hampir 10.000 jiwa.
Persoalannya, apakah angka ini akurat? Yang jelas, jumlah testing yang dilakukan pemerintah justru sangat sedikit dibandingkan dengan negara-negara lain, misalnya Korea Selatan yang melakukan tes sebanyak 25.000 sehari. Sejauh ini, total testing yang kita lakukan untuk Covid-19 ini masih kurang dari 15.000 tes. Mungkin ini yang membuat tingkat kematian oleh Covid-19 di Indonesia sangat tinggi, karena faktor penyebutnya kerendahan (artificially low ). Bersamaan dengan itu, seperti penuturan Gubernur DKI Anies Baswedan bahwa per 3 April, di DKI tercatat 885 kasus dan pasien yang meninggal 90 (10%). Ironisnya, Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI, yang mengurusi pemakaman, mencatat per 3 April ada 401 pemakaman yang dilakukan dengan SOP Covid-19. Mereka diduga meninggal karena terinfeksi virus korona, namun tidak sempat dites ataupun hasil tesnya belum didapat, orangnya "keburu meninggal." Akibatnya, angka pemakaman di DKI pada Maret lalu juga meningkat secara tajam dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.
Alhasil, data tentang Covid-19 di Indonesia tampaknya tidak bisa dijadikan pegangan. Angka penyebutnya (total kasus positif Covid-19) tidak akurat, angka pembilangnya (total kematian karena Covid-19) juga tidak akurat. Dengan data yang tidak akurat seperti ini maka pemodelan apa pun yang dibuat tidak akan mencerminkan realitas sebenarnya. Garbage in, garbage out .
Ekstrapolasi Pemodelan AS
Lebih baik kita melihat pemodelan yang ada di negeri lain yang relatif sebanding jumlah penduduknya, seperti Amerika Serikat. Jumlah penduduk kita saat ini diestimasikan 272 juta jiwa (terbesar ke-4 di dunia), sementara AS sebesar 329 juta jiwa (terbesar ke-3 di dunia). Menariknya juga karena kasus Covid-19 di Amerika Serikat telah lebih dahulu daripada di Indonesia, sehingga kita bisa melihat perkembangan kurva mereka dan pemodelannya. Lagipula, karena sebagai negara demokratis, data di AS dapat diikuti oleh semua orang dengan transparan dan akurat melalui berbagi media dengan mudah.
Sampai 6 April 2020, AS sudah menjadi negara dengan kasus Covid-19 yang terbesar, yaitu 336.851 kasus dengan 9.620 meninggal. Dengan demikian, tingkat kematian Covid-19 di AS tergolong cukup rendah, yaitu 2,9%. Pada saat yang sama, tingkat kematian Covid-19 di dunia berada di angka 5,4%. Menurut pemodelan yang digunakan para ahli di AS, seperti disampaikan Presiden Trump beberapa hari lalu, perkiraan kematian karena Covid-19 di AS akan mencapai 100.000 hingga 200.000 jiwa. Itupun jika pemerintah terus melakukan berbagai langkah pencegahan penularan korona yang ketat dan dibarengi dengan kesiapan pelayanan kesehatan yang prima di seluruh rumah sakit di AS. Pelayanan prima ini meliputi jumlah tempat tidur yang cukup, tenaga kesehatan yang cukup, dan alat kesehatan seperti ventilator dan APD bagi tenaga kesehatan yang cukup pula (bed-staff-supply ).
Jika angka tersebut diekstrapolasikan untuk kasus Covid-19 di Indonesia, perkiraan angka kematian di Indonesia adalah jumlah penduduk Indonesia dibagi jumlah penduduk AS dikalikan dengan 100.000 untuk angka terbawah, yaitu sekitar 80.000 jiwa. Sementara angka batas atasnya adalah 150.000 jiwa. Itupun dengan catatan, kita menggunakan tingkat kematian AS yang 2,9%. Jika angka kematian kita menggunakan angka rata-rata dunia saja yaitu 5,4%, maka perkiraan angka kematian kita akan berjumlah sekitar 150.000 hingga 300.000 jiwa. Suatu angka yang mengerikan.
Dalam pemodelan seperti itu, kapasitas rumah sakit kita di seluruh Indonesia tidak akan mampu menampung lonjakan pasien penderita Covid-19. Jumlah bed-staff-supply kita tidak akan mencukupi. Seperti keterangan menteri kesehatan per 2 April, saat ini tersedia 40.000 tempat tidur di 132 RS rujukan, dan tersedia pula sejumlah 8.413 ventilator di 2.867 RS yang tersebar di seluruh Indonesia. Artinya, hanya ada rata-rata kurang dari empat ventilator per RS. Bagi saya, ini juga angka yang mengerikan. Tanpa ventilator yang membantu pernapasan, pasien yang sesak napas karena terkena virus korona ini besar kemungkinan akan meninggal. Dan tanpa APD yang cukup maka dapat dipastikan tenaga kesehatan kita akan terpapar satu demi satu. Hingga sekarang pun sudah ada 24 dokter kita yang meninggal karena virus korona ini. Ini pun tergolong salah satu angka tertinggi di dunia.
Respons Kebijakan
Jika datanya keliru, respons kebijakan yang diambil niscaya juga akan keliru. Serangkaian perppu, PP, maupun, keppres dan segala turunannya dalam rangka mengatasi Covid-19 yang dibuat pemerintah, tampaknya jauh panggang dari api. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak akan efektif tanpa melakukan karantina wilayah atau populer disebut lockdown . Supply alat-alat kesehatan terutama ventilator dan APD tidak kunjung tersedia secara besar-besaran, di semua rumah sakit, terutama rumah sakit rujukan. Testing yang masif dan disertai tracing yang efektif masih belum kelihatan. Padahal, kita berkejaran dengan waktu.
Pembagian porsi kesehatan dari dana penanggulangan Covid-19 yang hanya 75 triliun dari 405,1 trilliun, memperlihatkan kerancuan pemerintah tentang mana sebab dan mana akibat. Pemerintah tampak lebih mementingkan stimulus ekonomi ketimbang mencegah meluasnya penularan Covid-19 dengan segala kebutuhannya. Tidak terlihat upaya membatalkan atau paling tidak menunda proyek-proyek infrastruktur besar sehingga dananya bisa direalokasikan untuk mengatasi pandemi ini. Sepertinya, upaya untuk menciptakan "legacy " bagi pemerintahan ini masih menjadi prioritas yang tak boleh diganggu.
Sementara itu, berbagai detial kebijakan stimulus ekonomi dan jaring pengaman sosial masih belum bisa diketahui dengan jelas, karena berbagai kebijakan itu masih menunggu perpres, keppres, permen, kepmen, dan sebagainya. Seiring dengan itu, waktu pun terus berlalu, korban terus berjatuhan, ekonomi pun terus merosot. Nasib rakyat tak menentu. Mudik atau tidak mudik, tergantung pejabat mana yang bicara.
Terus terang, saya berharap saya salah dengan melakukan ekstrapolasi pemodelan AS ini. Saya berdoa, pemodelan BIN yang benar, walaupun mungkin Indonesia satu-satunya negara yang menggunakan pemodelan dari badan intelijennya untuk mengestimasi kurva pandemi virus korona ini. Namun demikian, anggaplah ekstrapolasi ini merupakan suatu skenario terburuk pandemi Covid-19 yang mungkin terjadi di Indonesia. Bukankah Menteri Keuangan Sri Mulyani juga membuat beberapa skenario termasuk skenario terburuk, dengan pertumbuhan ekonomi -0,4%?
Tentu saja respons kebijakan yang bertanggung jawab dalam konteks ini adalah "error on the safe side ." Artinya, karena menyangkut ribuan jiwa manusia, lebih baik kita memprediksi yang terburuk akan terjadi dan kita mengantisipasi dengan kebijakan yang sesuai. Prepare for the worst, hoping for the best . Kalau ternyata skenario terburuk itu tidak terjadi, alhamdullillah ribuan nyawa sudah bisa terselamatkan. Mungkin kita perlu menyimak ucapan Presiden Ghana Akufo Addo: "Kita tahu cara menghidupkan perekonomian yang mati, tapi kita tidak tahu bagaimana menghidupkan orang mati."
Andi Mallarangeng
Doktor Ilmu Politik, Northern Illinois University, AS
*** (Source) *** Armen Foster