Jakarta,Info Breaking News – Pasca pensiunnya Hakim Agung Artidjo Alkostar, tidak sedikit narapidana korupsi yang akhirnya memberanikan diri untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK).
Melihat hal ini, sejumlah pihak pun was-was dan menuntut agar lembaga hukum dapat berhati-hati dan bijaksana dalam menangani permohanan PK para napi.
Bagi sebagian pihak, tren ramai-ramai mengajukan PK bahkan hingga beberapa kali ini
acap kali dinilai negatif lantaran mereka menilai hal tersebut membuat ketidakpastian hukum. Sebagian orang bahkan mempertanyakan sampai kapan sebenarnya seseorang dapat mengajukan PK.
Meski begitu, ada juga yang menilai pengajuan PK untuk kedua kalinya adalah hal yang normal karena persoalan tersebut sejatinya menyangkut pada hak asasi masing-masing orang.
Menyoroti hal ini, advokat OC Kaligis pun membagikan isi pikirannya. Melalui suratnya, ia menjabarkan mengapa pengajuan PK kedua adalah hal yang lumrah dan merupakan hak mutlak bagi para pemohonnya.
Berikut surat lengkap yang ia tulis dan diterima oleh redaksi:
Pendapat Hukum Prof. O.C.Kaligis mengenai permohonan PK, PK kedua.
Sukamiskin Jumat 1 Mei 2020.
1. Dasar Hukum PK lebih dari sekali. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014. Diputus antara lain oleh Hakim Konstitusi DR. H.M.Akil Mochtar SH.MH. dan DR.H. Patrialis Akbar SH.MH. Putusan tersebut adalah mengenai Hukum formil dengan persyaratan formil dimana untuk mengajukan PK lebih Dari sekali diperbolehkan.
2. Putusan MK nomor 34/2013 adalah Putusan erga omnes. Artinya tidak hanya mengikat para pihak (inter parties) tetapi harus ditaati oleh siapapun (erga omnes). Azas Putusan MK berkekuatan Hukum tetap Dan bersifat final sebagaimana ditentukan Dalam Pasal 10 ayat 1 Undang Undang nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Undang Undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:"Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan Hukum sejak diucapkan dan tidak ada Upaya Hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam keputusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang Undang ini mencakup pula kekuatan Hukum mengikat (final and binding)". Uraian ini cukup jelas sehingga tafsir atas definisi ini harus dikesampingkan. Indonesia yang menurut Konstitusi adalah Negara Hukum mewajibkan siapapun harus mentaati Putusan MK nomor 34/2013 tersebut. Sumpah Presiden menurut Pasal 9 UUD adalah kewajiban Presiden untuk taat Undang Undang.
3. Para Pendapat ahli Hukum yang mendukung PK lebih dari sekali:
a.Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra. Menurut ahli: Norma Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa "Negara Indonesia adalah Negara Hukum". Sesungguhnya adalah penuangan Dasar filosofis Negara kita sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD. Dalam pembukaanm itu, kita menemukan kata kata "peri kemanusiaan dan berkeadilan","adil dan makmur","adil dan beradab" serta kata "keadilan social " bagi seluruh Rakyat Indonesia" Norma yang di rumuskan oleh Pasal 268 ayat (1) Kuhap yang hanya membolehkan PK satu kali, dalam konteks perkara pidana, pada hemat ahli bertentangan dengan rasa keadilan yang begitu dikunjungi Tinggi." Norma Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 jelas berisi jaminan akan adanya kepastian Hukum yang adil bagi semua orang. Sepanjang sejarah, para ahli Hukum berdebat tidak henti-hentinya mengenai kepastian Hukum ini. Ahli berpendapat bahwa kepastian Hukum dan keadilan harus berjalan linear, tidak ada kepastian Hukum tanpa keadilan." Ahli teringat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012 ketika saudara Parlin Riduansyah meminta Mahkamah menegaskan kepastian Hukum yang dikandung Dalam Pasal 197 ayat(1) huruf k KUHAP tanpa mencantumkan Perintah dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP itu mengakibatkan Putusan batal Demi Hukum. Ini adalah suatu kepastian Hukum yang secara (letterlijk) disebutkan Dalam Pasal 197 itu. Namun Mahkamah menilai kepastian Hukum dalam Pasal 197 KUHAP itu bertentangan dengan keadilan substantif yang harus dikedepankan dalam perkara pidana, dan karenanya Mahkamah , dengan mengadili sendiri membatalkan ketentuan huruf k Dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Mahkamah nampaknya ingin menegaskan bahwa kepastian Hukum dalam Hukum acara, harus lah berjalan linear dengan keadilan dalam Hukum materiil. Berdasarkan Pendapat ahli, atas Dasar keadilan, PK lebih dari sekali dapat dilakukan, Dan adalah Hak terpidana untuk mengajukan PK lebih Dari sekali.
b. Pendapat ahli DR. Imamputra Sidin SH.MH. Ahli berpendapat: "Semua produk kekuasaan, Peraturan dan Putusan semata berfungsi untuk melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum. Dalam rangka mencapai tujuan itu, maka ketika suatu produk kekuasaan sudah keluar, maka produk itu tidak abadi dengan memegang teguh prinsip, semua perkara pasti ada akhirnya. Semua produk kekuasaan itu terbuka untuk dimintakan Perubahan untuk produk DPR dan Presiden atau peninjauan kembali untuk produk Mahkamah Agung atas suatu Perkara Pidana. Ketika Pasal 268 ayat (3) KUHAP dinyatakan tak mengikat maka peninjauan kembali boleh lebih dari sekali". Apabila Hukum Pidana yang diproduksi Mahkamah Agung yang dapat mencabut Hak yang paling fundamental warga Negara dibatasi permohonan peninjauan kembali hanya untuk sekali sebagaimana tercantum dalam Pasal 268 ayat (3) Undang Undang nomor 8/1981 tentang Hukum acara Pidana, hal tersebut akan membuat anomali. Sebab diantara produk kekuasaan lainnya dapat dimintakan Perubahan, dapat dimintakan pengujian atau peninjauan kembali lebih dari sekali. Hal ini secara logis menempatkan bahwa Putusan Mahkamah Agung dalam bidang pidana lebih " istimewa" bahkan diatas Konstitusi, mengingat bahwa semua prenata Konstitusi berlaku bagi pemegang kekuasaan, termasuk MK Dan DPR. semuanya membuka Hak warga Negara untuk bermohon melakukan perobahan meninjau kembali atau perobahan atas produknya lebih dari sekali: "Pembatasan permohonan Peninjauan kembali hanya sekali bertentangan Dengan Undang Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia karena seluruh kekuasaan dan segala produk kekuasaannya hadir guna mencapai tujuan tersebut, yang setiap saat segera harus membuka diri untuk mengoreksi segala produk kekuasaannya," Pendapat ahli.: Setuju permohonan PK lebih Dari sekali.
c. Pendapat ahli Adami Chazawi. Ahli berpendapat bahwa "SEMA nomor 7 /2014 jo. Nomor 10/2009 tidak sejalan dengan Putusan MK. No. 34/PUU-XI/2013. "Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang melarang pengajuan PK perkara pidana hanya satu kali, sejak tanggal 6 Maret 2014 telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Kinstitusi dalam Putusan MK nomor 34/2013 . Keberlakuan norma tersebut telah tiada/mati, tanpa disertai syarat apapun. Karena itu tidak bisa hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam proses pengajuan PK kedua berpendapat bahwa permohonan PK kedua bertentangan dengan pasal 268 ayat (3) KUHAP. Sejak dikeluarkannya Putusan MK/2013 tersebut kedua SEMA tersebut diatas tidak berlaku: Alasannya,
Pertama. SEMA tersebut membatasi secara substantif pengajuan PK kedua kalinya. Sementara MK telah mencabut keberlakuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP tanpa klausule atau syarat apapun. Karena itu kedua SEMA tersebut tidak sejalan/Bertentangan dengan Putusan MK nomor 34/2013. Tingkat keberlakuan Undang2 saja berada dibawah keberlakuan Putusan MK, karena keberlakuan undang2 dapat dicabut oleh Putusan MK. Apalagi SEMA jelas tidak boleh membatasi keberlakuan Putusan MK,
Kedua: SEMA tidak dikenal Dalam tata-urutan Perundang-undangan. Sejak TAP MPRS XX/MPRS 1966 sampai dengan sekarang yaitu Undang Undang nomor 12/2011, tidak jelas dimana kedudukan SEMA tersebut. Keadaan ini disebabkan SEMA bersifat administratif, berlaku internal Pengadilan saja sebagai petunjuk, isinya tidak boleh membatasi berlakunya Undang Undang,
Ketiga.: SEMA tersebut dapat dianggap membuat ketentuan baru in casu, syarat materiil mengajukan PK kedua dan seterusnya yang sesungguhnya setingkat Undang Undang yang menjadi wewenang pembentuk Undang Undang, dan tidak boleh dengan sekedar SEMA,
Keempat: tujuan yang hendak dicapai oleh SEMA tersebut bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh Putusan MK No. 34/2013. Tujuan yang hendak dicapai oleh kedua SEMA tersebut diatas ialah untuk membatasi bertumpuknya perkara Di Mahkamah Agung yang in casu bukan merupakan alasan yuridis. Sementara tujuan Putusan MK adalah untuk menegakkan keadilan. Kesimpulan: Ahli setuju PK diajukan lebih dari sekali,
d.Ahli Prof (EM) DR. Romli Atamasasmita SH. LLM.. Ahli setuju Pengajuan PK lebih dari sekali, karena hal itu merupakan solusi hukum yang memenuhi Asas kepatutan. SEMA nomor 7/2014 hanya merupakan produk Hukum internal yang bersifat administratif. Pendapat ahli didasarkan atas yurisprudensi PK kedua masing masing: 1. Putusan Mari nomor 03 PK/Pid/2001 an. Ram Gulumal; 2. Putusan Mari nomor 15 PK/Pid/2006 an. Soetjawati; 3. Putusan Mari nomor 54 PK/Pid/2006 an Dr. Eddy Linus; 4. Putusan Mari nomor 55 PK/Pid 2006 an. Muchtar Pakpahan; 5.Putusan Mari nomor 109 PK/Pid/2007 an. Pollycarpus. 6. Putusan Mari nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 an. Djoko Tjandra.
.
4. Putusan PK kedua yang dikabulkan oleh hakim Mahkamah Agung (yudex yuris ) setelah Putusan MK nomor 34/PUU-XI/2013 tersebut diatas:
a. Putusan tanggal 20 Juli 2017. Putusan MA No. 242 PK/Pid.Sus/2016 atas Nama Pemohon PK Ir. Bakri Makka. Keua Majelis: Timur P.Manurung SH.MM. Hakim hakim anggota Prof. DR. Surya Jaya SH.M.Hum Dan Prof.DR. Abdul Latif AH.M.Hum.
b. Putusan tanggal 25 Juni 2019. Putusan MA. No. 214 PK/Pid.Sus 2019 atas Nama Pemohon PK. Ir. Toto Kuntjoro Kusuma Jaya. Ketua Majelis: DR.H.Andi Ayub Saleh SH.MH. Hakim hakim anggota. DR.H.Eddy Army SH.MH Dan DR. Gagal a Saleh SH.MH.(Saudara Toto Kuntjoro adalah ex warga binaan Sukamiskin, kini telah Beas murni)
c. Putusan tanggal 29 Juli 2019. Putusan MA No. 53 PK/Pid.Sus/2019 atas Nama Pemohon PK. H.Taufan Ansar Nur dan Ir.H. Abdul Azis Siadjo Qia.MM. Ketua Majelis: DR. H.Sunarto SH.MH. Hakim hakim anggota DR. H.Andi Samsam Nganro SH. MH dan Prof. Abdul Latif SH.M.Hum.
5. Mengenai legal standing Jaksa/KPK dalam pengajuan PK.
Putusan MK nomor 33/PUU-XIV/2016 menetapkan hanya Jaksa bukan Pihak dalam Pengajuan PK oleh Terpidana atau ahli warisnya. Jaksa/Penuntut Umum tidak mempunyai legal standing didalam permohonan Peninjauan Kembali. Pertimbangan Hukum MK pada Putusan MK nomor 33/PUU-XIV/2016 halaman 37:" Namun proses yang panjang yang telah dilalui mulai dari penyelidikan, penuntutan, pemeriksaan dan putusan di peradilan tingkat pertama, banding dan Kasasi, dipandang telah memberikan kesempatan yang cukup bagi Jaksa/Penuntut Umum menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu dipandang adil jikalau Pemeriksaan PK tersebut dibatasi hanya bagi terpidana atau ahli warisnya, karena Jaksa/Penuntut Umum dengan segala kewenangannya dalam proses peradilan tingkat pertama, banding dan Kasasi, dipandang telah memperoleh kesempatan yang cukup."
Kesimpulan saya. Menurut Putusan MK nomor 33/2016 sesuai Hukum acara dipersidangan PK, Jaksa dalam pengajuan PK bukan Pihak. Prakteknya: Hakim Pemeriksa PK selalu mengabaikan Putusan MK nomor 33/2016 tersebut. Padahal Putusan PK, Putusan tertinggi yang harus dipatuhi oleh hakim dan Jaksa/Penuntut umum. Kerugian Pemohon PK bila Jaksa/Penuntut umum diakui oleh Hakim Pemeriksa PK adalah: bahwa Jaksa/Penuntut Umum bukan saja memberikan pendapatnya, tetapi kembali mengajukan ahli, saksi dan bukti. Padahal PK dimajukan terhadap Putusan in kracht di dalam putusan mana hakim juga telah mempertimbangkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Kehadiran Jaksa sebagai Pihak dalam PK bertentangan dengan Putusan MK nomor 33/2016.
Saya sebagai praktisi dan akademisi, dalam acara permohonan PK selalu keberatan atas hadirnya Jaksa/Penuntut Umum sebagai Pihak dalam pengajuan PK terpidana atau ahli warisnya.
6. Untuk PK kedua permohonan Pemohon: a. Minta PK kedua dikabulkan, dalam hal ini keputusan dapat dikurangi, atau Pemohon PK divonis bebas: vonis diperberat tidak diperbolehkan oleh Mahkamah Agung.
7. Di dalam PK kedua harus dimintakan juga remisi untuk vonis terpidana Korupsi. Dasar Hukum Permintaan remisi adalah Putusan MahkamaH Agung nomor 2368 K/Pid.Sus/2015, Putusan Mahkamah Agung an. Terdakwa Muhtar Ependi. Kutipan pertimbangan dihalaman 149. Jaksa/Penuntut Umum meminta dalam memori Kasasinya agar Muhtar Ependi tidak diberikan remisi. Hakim Agung (yudex Yuris) menolak permohonan Jaksa KPK. Pertimbangannya: "Hak remisi bersifat universal, diberikan kepada para nara pidana yang memiliki kelakuan baik. Di Indonesia dilaksanakan berdasarkan Pasal 34 ayat (1),(2),(3) PP No. 28 tahun 2000 tentang Perubahan atas PP No. 32 tahun 1999 dan untuk pelepasan bersyarat berdasarkan Pasal 36 ayat (4) PP No. 28 tahun 2000 jo. PP No. 32 tahun 1999."
Kesimpulan saya sebagai ahli dalam memberikan Pendapat Hukum ini;
Yang merasakan diperlakukan tidak adil adalah Pemohon PK. Saya baik sebagai praktisi maupun akedemisi banyak membongkar dalam buku buku Hukum yang saya terbitkan mengenai tebang Pilih Pemeriksaan Di KPK. Persidangan di Pengadilam hanya pro forma. Bukti (termasuk kesaksian a de charge Dan pendapat ahli Dari terdakwa) yang terungkap dipersidangan berdasarkan Pasal 185(1) KUHAP tidak pernah dipertimbangkan KPK baik oleh Jaksa Penuntut Umum maupun yudex factie.
Putusan Yudex factie maupun yudex yuris untuk beberapa tersangka untuk Kasus yang sama banyak yang bertentangan satu sama yang lain. Kerugian Negara jarang memakai hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan sesuai dengan fatwa Mahkamah Agung yang diperintahkan melalui fatwa Ketua Prof. DR. Hatta Ali.
Kekhilafan Hakim dalam vonisnya mulai dari Pengadilan Negeri,Tinggi sampai Mahkamah Agung sering mengandung kekeliruan dibandingkan dengan putusan putusan Hooge Raad yang menjadi acuan yurisprudensi.
Tuntutan copy paste dakwaan. Dakwaan dibuat secara tebang pilih. Hakim enggan memutus tidak sesuai atau berlawanan dengan tuntutan Jaksa. Putusan Hakim Agung banyak dikritisi oleh ahli Hukum Pidana. Saya melihat beberapa Putusan Hakim Agung Artidjo tanpa pertimbangan Hukum sama sekali.
Temuan Panitia Angket DPRRI membuktikan dan menemukan Fakta berapa banyak tersangka yang dijadikan target tanpa penunjang alat bukti atau hanya dengan kesaksian de auditu yang direkayasa. Setelah lengsernya Hakim Agung Artidjo selaku Ketua kamar Pidana, terlihat ada perobahan vonis yudex yuris. Karenanya dalam mencapai Keadilan, PK kedua menurut Pendapat saya, baik dalam kedudukan saya sebagai praktisi dengan segudang pengalaman di dalam dan di luar negeri dalam beracara, maupun di dalam kedudukan saya juga sebagai akademisi, berpendapat bahwa demi keadilan permohonan Peninjauan Kembali kedua adalah hak mutlak Pemohon Peninjauan Kembali dan/atau ahli warisnya. Kepastian Hukum dan keadilan harus berjalan seiring.
Pendapat ahli:
Prof. Dr.Otto Cornelis Kaligis.SH.MH. ***Emil F. Simatupang