KPK Miliki Sadapan Aliran Uang ke Pejabat Kejagung dan BPK

Miftahul Ulum Asisten Pribadi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi. 

Jakarta, Info Breaking News - Miftahul Ulum, asisten pribadi mantan Menpora Imam Nahrawi sempat menyebut  adanya aliran uang kepada anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berinisial Achsanul Qosasi dan mantan Jampidsus Kejaksaan Agung Adi Toegarisman terkait temuan mengenai keuangan KONI maupun Kempora.

Ulum  mengungkapkan hal ini saat bersaksi dalam sidang perkara dugaan suap dana hibah KONI dan gratifikasi dengan terdakwa Imam Nahrawi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (15/5/2020). Namun, saat membacakan pleidoi atau nota pembelaan dalam persidangan pada 9 Juni 2020, Ulum menyampaikan permintaan maaf karena telah menyinggung nama Achsanul Qosasi dan Adi Toegarisman.

Dikonfirmasi pada pengacara Ulum, Wa Ode Nur Zainab menyebut permintaan maaf yang disampaikan kliennya karena menyebutkan identitas personal saat persidangan. Dengan demikian, permintaan maaf itu bukan berarti pernyataan sebelumnya tidak benar, apalagi mencabut atau mengubah pernyataan di persidangan.

"Miftahul Ulum itu saya kan sebenarnya masih sebagai pengacaranya, tetapi tidak pernah menangani perkara di pengadilannya, waktu di penyidikan itu saya mendampingi beliau (Ulum), beberapa kali saya ketemu, beliau itu sebenarnya dengan gamblang sekali bercerita, kepada saya, bagaimana beliau tahu ada uang yang diberikan ke penegak hukum 'sebelah', bahkan disebutkan orang-orangnya siapa, yang mengantarkan uangnya siapa, itu disebutkan," kata Wa Ode di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (30/6/2020).

Wa Ode mengungkapkan, Ulum telah menyampaikan secara rinci mengenai aliran dana tersebut, termasuk mengenai waktu pemberian uang-uang itu. Bahkan, Ulum sempat diancam agar seakan-akan uang itu diterimanya sendiri, agar opini yang berkembang mengarah pada Imam Nahrawi. Tak hanya itu, Wa Ode menyebut KPK memiliki sadapan mengenai hal tersebut.

"Ada tapping (sadapan) pembicaraan soal uang itu sebenarnya. Tanya ke KPK, dan padahal ada buktinya, tapi itu tidak pernah didalami," kata Wa Ode.

Untuk itu, Wa Ode menyebut Ulum dan Imam kecewa kepada KPK karena tidak menindaklanjuti mengenai aliran dana tersebut. Kekecewaan itu yang membuat Ulum menyampaikan secara gamblang mengenai aliran dana tersebut di persidangan.

"Saksinya ada, yang mengatakan itu ada, ke pemeriksa keuangan itu ada. Kemarin itu mas Ulum kan minta maaf, itu minta maaf bukan berarti tidak benar, tetapi minta maaf karena personal. Dia (Ulum) juga pernah diancam oleh Ending dan pengacaranya, 'kamu akui saja deh duit itu, karena kamu kan bukan pegawai negeri' jadi sejak awal ada skenario besar, uang-uang itu seolah-olah diterima Ulum, kalau Ulum ini asisten pribadi, berati kan diterima oleh menteri. Jadi skenarionya sudah dirancang sedemikian rupa sejak awal dan sesungguhnya itu bisa didalami KPK," katanya.

Keseriusan untuk membantu KPK membongkar aliran dana itu ditunjukkan Imam dengan mengajukan diri sebagai justice collaborator.

"Berdasarkan fakta-fakta hukum adanya pemberian uang ke instansi penegak hukum sebelah, klien kami Bapak Imam Nahrawi mengajukan JC," katanya.

Hanya saja, kata Wa Ode, Imam tidak mengetahui jika mengajukan JC berarti turut mengakui menerima. Padahal, katanya, Imam menegaskan tidak pernah menerima uang itu.

"Ini yang Pak Imam betul-betul tidak terima, sampai-sampai beliau mengatakan saya siap jadi JC, karena dia tidak tahu kalau JC itu harus terlibat. Fakta itu sudah ada, Ulum itu diancam seolah-olah dia terima uang (yang mengalir ke penegak hukum) ke 'sebelah' itu," katanya.

Sebelumnya, Ulum menyebut Qosasi dan Adi menerima uang dari Kempora. Pemberian fulus diduga terkait temuan BPK dan Kejaksaan Agung mengenai keuangan KONI maupun Kempora.

Hakim meminta Ulum menjelaskan detail nama-nama pihak yang menerima uang tersebut. "Untuk inisial AQ yang terima Rp3 miliar itu, Achsanul Qosasi. Kalau Kejaksaan Agung ke Adi Toegarisman, setelah itu KONI tidak lagi dipanggil oleh Kejagung," kata Ulum dalam kesaksiannya.

Sebelumnya dalam persidangan pada Rabu (18/3/2020) terungkap adanya aliran dana sebesar Rp 7 miliar dari Kempora untuk menyelesaikan kasus yang ditangani Kejaksaan Agung. Aliran dana itu disampaikan Kepala Bagian Keuangan KONI, Eny Purnawati yang dihadirkan sebagai saksi.

Dalam persidangan itu, Imam mempertanyakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Eny di KPK soal uang pinjaman untuk mengurus kasus di Kejaksaan Agung.

"Ibu mengatakan di sini (BAP) saya diberitahu Pak Johnny E Awuy (Bendahara KONI) bahwa ada pinjaman KONI sebesar Rp 7 M untuk menyelesaikan kasus di Kejaksaan," tanya Imam di persidangan. "Iya," jawab Eny.

Kemudian Imam menanyakan soal pemanggilan Eny oleh Kejaksaan sampai dua kali. "Kasus apa?" tanya Imam.
"Setahu saya bantuan KONI dari Kempora tahun 2017," jawab Eny.

Dugaan korupsi dana bantuan pemerintah melalui Kempora untuk KONI sekitar Rp 26 miliar diketahui merupakan salah satu kasus di Kempora yang ditangani Pidana Khusus Kejaksaan Agung. Kasus bermula dari proposal KONI Pusat tertanggal 24 Nopember 2017 kepada Menpora Imam Nahrawi yang berisi permohonan bantuan senilai Rp 26.679.540.000.

Pada tanggal 8 Desember 2017, Menpora Imam Nahrawi memerintahkan Deputi 4 bidang Peningkatan Prestasi Olahraga untuk segera menindaklanjuti proposal dari KONI Pusat tersebut. Hal ini mengingat dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA K/L) Kemenpora Tahun 2017 belum ada peruntukan anggaran untuk merespon proposal KONI tersebut.

Kempora melalui Biro Perencanaan kemudian melakukan revisi berdasarkan usulan Deputi 4 bidang Peningkatan Prestasi Olahraga.

Desember 2017, Kempora menggulirkan dana bantuan hingga Rp 25 miliar yang dicairkan ke rekening KONI. Penggunaannya diperuntukan dalam rangka pembiayaan program pendampingan, pengawasan, dan monitoring prestasi atlet jelang Asian Games 2018.

Namun diduga telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Sejumlah oknum dari Kempora dan KONI Pusat diduga membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran fiktif dengan modus pengadaan barang dan jasa tanpa prosedur lelang.

Dalam perkara ini, Imam Nahrawi bersama-sama asisten pribadinya Miftahul Ulum telah divonis bersalah. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 7 tahun pidana penjara dan denda Rp 400 juta subsider 3 bulan kurungan terhadap Imam Nahrawi.

Tak hanya pidana pokok, Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan terhadap Imam berupa kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 18.154.230.882 dan pencabutan hak politik selama 4 tahun setelah menjalani pidana pokok. Sementara Miftahul Ulum divonis 4 tahun pidana penjara dan denda sebesar Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.

Majelis Hakim menyatakan Imam terbukti menerima suap terkait pengurusan dana hibah dari pemerintah kepada KONI melalui Kempora serta menerima gratifikasi terkait dengan jabatannya dari sejumlah pihak melalui Ulum.*** Emil FS

Subscribe to receive free email updates: