Kabarnya mereka akan mengidentifikasi tanaman itu menyusul adanya dugaan perkembangbiakan virus Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) yang ditengarai menjadi penyebab kematian tanaman jeruk di Desa Segeran dan Segeran Kidul, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu. Rabu (28/9/2016).
Ketua Tim Peneliti IPB, Agus Priyono Kartono, usai menggelar sosialisasi dengan perwakilan masyarakat dan unsur muspika Kecamatan Juntinyuat, di Kantor Badan Lingkungan Hidup (BLH), Kabupaten Indramayu, Dikatakannya, CVPD merusak sel tanaman dan penyakit ini telah menimbulkan kerusakan yang sangat hebat pada perkebunan jeruk di Indonesia.
"Mengutip hasil penelitian sebelumnya dari Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura Departemen Pertanian menyebutkan, kasus serangan CVPD pernah terjadi di Tulungagung yang menghancurkan tanaman jeruk hingga 62,34 persen serta di Bali Utara menghancurkan 60 persen tanaman jeruk dengan kerugian mencapai puluhan milyar rupiah per tahun." Ujar Agus.
masih menurut Agus, Virus CVPD merusak daun, buah hingga tanaman jeruk secara keseluruhan. Gejalanya, terlihat pada sebagian atau seluruh tajuk tanaman yang menguning. Daun-daun yang kuning terasa lebih kaku, tebal dengan urat daun menonjol terang, dan umumnya berdiri tegak. Dan pada serangan lanjut, akan menyebabkan buah yang dihasilkan menjadi kecil, atau berkualitas rendah. CVPD ditularkan oleh serangga vektor yaitu Diaphorina citri kuwayama. Selain sebagai vektor, Diaphorina citri kuwayama juga dapat berperan sebagai hama. Selain itu, penularan virus CVPD dapat juga terjadi melalui bibit jeruk, baik yang diperbanyak secara grafting maupun dengan tempel-mata.
" Kami melakukan penelitian dengan lokasi kajian virus jeruk akan difokuskan di Desa Segeran Kidul, Kecamatan Juntinyuat," ucapnya.
Sebagaimana diketahui sebelum era 1987-an, Desa Segeran Kidul dan Desa Segeran menjadi desa penghasil jeruk terbesar di Indramayu. Namun, terjadi kematian tanaman jeruk secara massal sehingga membuat masyarakat trauma untuk menanam jeruk. Kematian massal tanaman jeruk di desa itu terjadi bersamaan waktunya dengan kegiatan survei Seismik yang dilaksanakan Pertamina EP pada 1987.
Karenanya, sebagian besar masyarakat, khususnya petani jeruk di Desa Segeran Kidul dan Desa Segeran, menuding kegiatan survei seismik sebagai penyebab terjadinya kematian massal tanaman jeruk mereka.
Dan sejak saat itu, masyarakat Desa Segeran Kidul dan Desa Segeran sepakat untuk menolak kegiatan survei seismik yang dilaksanakan oleh Pertamina EP. Penolakan tersebut juga terjadi pada kegiatan survei Seismik 3D Akasia Besar oleh Pertamina EP yang dimulai 2015 lalu.
"Kami berharap hasil kajian ini dapat memberi gambaran dan informasi yang menyeluruh tentang dampak yang mungkin timbul akibat kegiatan Seismik sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam penetapan kebijakan operasi Seismik, serta pengambilan tindakan pengelolaan dampak lingkungan yang diduga akan timbul," terang dia.
Sementara itu, Kepala BLH Kabupaten Indramayu, Aep Surahma, mengatakan penelitian tersebut akan mulai dilakukan minggu ini hingga tiga bulan kedepan.
"Kajian tersebut diharapkan mampu menjawab teka-teki mengenai penyebab pasti kematian tanaman jeruk di desa tersebut dan hasilnya akan disosialisasikan kepada masyarakat."Tandasnya.