DATA FORENSIK: Jokowi dan Ahok Terlibat Jual-Beli Tanah Negara 755 Miliar (Sumber Waras)


Mempelajari secara mendetail UU Tipikor, baik UU No 31/1999 maupun UU No 20/2001, terdapat 1 pasal yang menyebutkan secara lengkap unsur-unsur perbuatan yang dapat dijadikan dasar tindak pidana korupsi dalam kasus jual beli tanah negara, dengan menggunakan fasilitas keuangan negara yang berasal dari APBD DKI, yang diatasnya terdapat hak pengelolaan yang diberikan oleh negara (bukan hak milik pribadi, tetapi berupa Hak Guna Bangunan diatas Tanah Negara), yang diberikan kepada badan hukum (Yayasan Rumah Sakit Sumber Waras).

Dalam pasal 3, disebutkan unsur-unsur pidana sebagai berikut:

1. Setiap orang (Jokowi/Ahok).
2. Yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (menguntungkan 755 Miliar Yayasan Sumber RS. Sumber Waras).
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya (Manipulasi NJOP Pergub 125/2014).
4. karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017).

Tanpa keragu-raguan sedikitpun, berdasarkan unsur-unsur Tipikor yang disebutkan dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999, perbuatan jual beli lahan negara, dengan hak pengelolaan berupa Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah negara, yang dikelola oleh Yayasan Rumah Sakit Sumber Waras, merupakan perbuatan yang memenuhi kualifikasi unsur materil dalam Tindak Pidana Korupsi. Yang perlu kemudian untuk dibuktikan oleh penyidik KPK, adalah adanya bukti forensik yang menunjukkan bahwa Pejabat Gubernur di periode 2012 sampai 2017, memiliki sumber data yang benar untuk membuktikan adanya unsur "menyalahgunakan kewenangan" dan "berhubungan dengan jabatan" dan "menguntungkan orang lain/korporasi/yayasan".

Data forensik yang pertama: Tanggal diterbitkannya SK Gubernur No. 125 Tahun 2014


Dasar hukum pelaksanaan perjanjian jual beli tanah negara dengan Hak Guna Bangunan yang dikuasai oleh Rumah Sakit Sumber Waras, menurut penjelasan resmi Pemprov DKI Jakarta didasarkan pada terbitnya Pergub Nomor 125 Tahun 2014, yang menetapkan NJOP PBB-P2 terbaru-hasil revisi Pergub Nomor 175 Tahun 2013 tentang penetapan NJOP PBB-P2 Tahun 2014 di wilayah DKI Jakarta. Sehingga dapat disimpulkan satu-satunya dasar hukum yang digunakan oleh Pemprov DKI Jakarta menetapkan harga jual beli tanah negara dengan hak Guna Bangunan yang dikelola oleh Yayasan RS. Sumber Waras adalah penetapan NJOP hasil revisi yang diterbitkan berdasarkan Pergub Nomor 125 Tahun 2014 yang ditandatangani oleh Gubernur Joko Widodo.

Sepintas lalu, tidak ada yang bermasalah dengan kesepakatan jual beli yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta dengan pihak Yayasan RS. Sumber Waras, sebab pihak Pemprov membeli lahan tersebut menggunakan referensi harga NJOP yang diperbolehkan oleh Undang-Undang (merujuk pada PP 40/2014 Pasal 121). Dimana diketahui dalam penetapan NJOP hasil revisi berdasarkan Pergub Nomor 125 Tahun 2014 ditetapkan pada tanggal 7 Agustus 2014 oleh Gubernur Joko Widodo, dan mulai diundangkan menjadi peraturan yang berlaku secara yuridis di wilayah Pemrov DKI Jakarta pada tanggal 11 Agustus 2014 yang ditandatangani oleh Sekda Provinsi DKI Jakarta, Saefullah (Lembaran Berita Daerah Nomor 71027). Yang berarti aturan NJOP terbaru hasil revisi Pejabat Gubernur DKI Jakarta, mulai berlaku pada tanggal 11 Agustus 2014 dan tidak berlaku surut kebelakang.

Data forensik kedua: Surat Kepala Bappeda Pemprov DKI Jakarta tanggal 8 Agustus 2014


Satu hari setelah penetapan Surat Peraturan Gubernur Nomor 125 Tahun 2014 tentang revisi NJOP 2014 ditanggal 7 Agustus 2014, pada sehari setelahnya yaitu ditanggal 8 Agustus 2014, Kepala Bappeda Provinsi DKI Jakarta, Andi Baso M (NIP.195908051987091001) menyurat kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, yang dalam keterangannya menjelaskan tindaklanjut disposisi dari PLT. Gubernur (Pelaksana Tugas) yang dijabat oleh Wakil Gubernur Basuki Tjaha Purnama "Ahok", yang telah memeriksa dan mempelajari surat penawaran yang dikirimkan oleh Direktur Umum dan SDM RS. Sumber Waras pertanggal 27 Juni 2014 (Nomor: 133/Dir/D/K/VI/2014) perihal penawaran penjualan Tanah RS. Sumber Waras.

Bagaimana bentuk surat penawaran Direktur Umum dan SDM RS. Sumber Waras pertanggal 27 Juni 2014 (Nomor: 133/Dir/D/K/VI/2014) yang diperiksa dan diberi disposisi oleh PLT. Gubernur atas nama Wagub Basuki Tjahaja Purnama "Ahok" dapat dilihat pada bukti forensik ketiga.

Data forensik ketiga: surat penawaran Direktur Umum dan SDM RS. Sumber Waras dan Disposisi PLT. Gubernur oleh Wagub Basuki Tjahaja Purnama "Ahok"



Mempelajari secara cermat, lembar disposisi yang diberi tulisan tangan oleh PLT. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama "Ahok", tampak begitu meyakinkan adanya bukti otentik pengaturan harga "pengkondisian nilai jual tanah negara yang dikuasai oleh Yayasan RS. Sumber Waras" jauh hari sebelum terbitnya aturan revisi nilai NJOP terbaru yang diterbitkan oleh Gubernur Joko Widodo pada tanggal 7 Agustus 2014 dan diundangkan secara yuridis pada tanggal 11 Agustus 2014.

Dalam lembar disposisi tersebut, disebutkan tanggal surat yang dikirimkan oleh Direktur Umum RS. Sumber Waras diberi tanggal 27 Juni 2014, bersesuaian dengan Surat Kepala Bappeda, Andi Baso M (NIP.195908051987091001) yang menerangkan adanya surat penawaran yang dikirimkan oleh pihak RS. Sumber Waras yang diberikan disposisi oleh PLT. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama "Ahok". Lembar Surat Disposisi PLT. Gubernur tersebut berisi redaksi sebagai berikut:

"DISAMPAIKAN PENAWARAN PENJUALAN RUMAH SAKIT SUMBER WARAS SELUAS 36.410 M2 DAN PBB RS. SUMBER WARAS TAHUN 2014 DENGAN HARGA SESUAI DENGAN NJOP TAHUN 2014 (RP 20.755.000,- PER M2) SEBAGAIMANA KOPI SERTIFIKAT TERLAMPIR"

Dalam lembar penawaran jual beli lahan RS. Sumber Waras yang tertuang dalam disposisi tersebut, terlihat sangat jelas penetapan angka penawaran yang disampaikan oleh Direktur Umum RS. Sumber Waras yang menjelaskan penawaran penjualan lahan yang dikelola oleh mereka dengan alas hak HGB, dilaksanakan dengan mengacu pada nilai NJOP Tahun 2014 sebesar 20 Juta Permeter Persegi. Hal ini cukup mengherankan, sebab penetapan nilai NJOP terbaru-hasil revisi Tahun 2014, baru ditetapkan kemudian pada tanggal 7 Agustus 2014/diundangkan pada tanggal 11 Agustus 2014 sebagai dasar harga NJOP 2014 menurut Pergub Nomor 125 Tahun 2014.

Bagaimana mungkin pihak Yayasan RS. Sumber Waras terlebih dahulu mengetahui keputusan penetapan NJOP lahan miliknya yang mencapai Rp 20 Juta Permeter Persegi (tepatnya Rp 20.755.000,- per M2) jauh hari sebelumnya, pada tanggal 27 Juni 2014, sedangkan penetapan NJOP hasil revisi Tahun 2014 yang menyetujui perubahan NJOP pada angka Rp 20.755.000,- per M2 untuk Jalan Kyai Tapa/Kiai Tapa (Lahan RS. Sumber Waras) ditetapkan pada bulan Agustus, setelah Pergub Nomor 125 Tahun 2014 ditetapkan oleh Pejabat Gubernur DKI Jakarta.

Nalar publik pun kemudian bisa menangkap pesan penting, dari hadirnya data forensik terkait 3 alat bukti surat yang terdiri dari: 1) Lembar Disposisi PLT. Gubernur, 2) Surat Kepala Bappeda, dan 3) Salinan Surat Pergub Nomor 125/2014, yang menerangkan secara sistematis adanya upaya untuk "mengatur" atau "mengkondisikan" peraturan Gubernur Nomor 125 Tahun 2014 yang ditandatangani oleh Gubernur Joko Widodo pada saat itu, dengan hasil kesepakatan yang dilaksanakan oleh PLT. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama "Ahok" dengan pihak pengembang "Yayasan RS. Sumber Waras" agar nilai NJOP yang ditetapkan berdasarkan aturan Pergub mengikuti kesepakatan bisnis yang telah ditentukan jauh hari sebelumnya dengan pihak pengembang. Dengan kata lain, redaksi dalam Pergub Nomor 125 harus mengikuti kesepakatan nilai NJOP baru yang ditentukan pada bulan-bulan sebelumnya, berdasarkan kesepakatan bisnis.

Dalam redaksi lembar disposisi yang sama pula, terdapat tulisan tangan PLT. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama "Ahok" yang memberikan rekomendasi sebagai berikut:

"Yth. Kepala Bappeda —————————
Dianggarkan di SKPD Dinkes——————-
Di APBD-P 2014 Sesuai Aturan—————-
Tanggal Disposisi 8 Juli 2014——————-"

Lembar disposisi ini membuktikan adanya rangkaian persetujuan dari PLT. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama sebagai pejabat yang terlibat langsung dalam persetujuan jual beli tanah negara dengan alas hak HGB yang dikuasai oleh Yayasan RS. Sumber Waras, dengan terlebih dahulu menetapkan harga NJOP tanahnya, sebesar Rp 20 Juta Permeter Persegi (tepatnya Rp 20.755.000,- per M2), sekalipun dasar aturannya baru ditetapkan kemudian pada bulan Agustus mendatang (Pergub Revisi NJOP diterbitkan 7 Agustus 2014/diundangkan 11 Agustus 2014).

Diluar fakta forensik terkait jual beli tanah negara, dengan hak pengelolaan HGB yang dikuasai oleh Yayasan RS. Sumber Waras, pada periode pertengahan Bulan Mei sampai di penghujung Bulan Juli 2014, berdasarkan PKPU Nomor 4 Tahun 2014, merupakan masa-masa penting proses pendaftaran Calon Presiden pada 18-20 Mei 2014, proses kampanye Calon presiden dan penetapan hasil pemilu Presiden yang berakhir pada 20-22 Juli 2014. Sehingga sejak 1 Juni 2014 sampai 22 Juli 2014 tampuk kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta dilaksanakan oleh PLT. Gubernur DKI Jakarta, yang dijabat oleh Wagub Basuki Tjahaja Purnama "Ahok".

Sehingga proses negosiasi/kesepakatan jual beli yang terekam dalam sejumlah dokumen, termasuk lembar disposisi PLT. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dengan adanya surat penawaran penjualan lahan yang dikuasai oleh Yayasan RS. Sumber Waras pada tanggal 27 Juni 2014, dan perintah disposisi kepada Kepala Bappeda DKI pada tanggal 8 Juli 2014, agar merespons penawaran harga NJOP lahan RS. Sumber Waras untuk dianggarkan dalam APBD-Perubahan (APBD-P) DKI Jakarta, merupakan rangkaian keputusan yang diambil berdasarkan kewenangan Gubernur. Yang patut untuk disesalkan adalah adanya kesepakatan nilai jual berdasarkan NJOP yang secara bisnis sangat menguntungkan pihak Yayasan RS. Sumber Waras, selaku pihak yang menjual lahan kepada Pemprov DKI Jakarta. Padahal belum ada pembaharuan nilai NJOP yang disebutkan oleh Pemrov yang menggunakan dasar penetapan NJOP baru-hasil revisi Pergub Nomor 125 Tahun 2014 yang ditandatangani kemudian ketika Jabatan Gubernur dipegang kembali oleh Joko Widodo pasca cuti mengikuti ajang Pemilihan Presiden sejak 1 Juni 2014 sampai 22 Juli 2014.

Dengan demikian melihat secara teliti dan cermat, unsur-unsur pidana yang tertuang dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999, tentang unsur "menyalahgunakan kewenangan", yaitu kewenangan menyetujui harga beli tanah negara yang dikelola dengan alas hak HGB oleh Yayasan RS. Sumber Waras, sebelum terbitnya dasar aturan perubahan NJOP berdasarkan Pergub Nomor 125 Tahun 2014, yang dibuktikan dengan surat penawaran pertanggal 27 Juni 2014 dan diberikan tulisan tangan dalam lembar disposisi oleh PLT. Gubernur Basuki Tjahja Purnama pada tanggal 8 Juli 2014, sebagai bentuk "perbuatan" yang melampaui kewenangannya sebagai PLT. Gubernur (karena belum ada Pergub Nomor 125 Tahun 2014, masih menggunakan NJOP lama yang ditetapkan dalam Pergub Nomor 175 Tahun 2013).

Terkait unsur selanjutnya dalam Pasal 3, tentang "Menguntungkan orang lain/korporasi/yayasan RS. Sumber Waras" terlihat dalam persetujuan penawaran harga NJOP senilai Rp 20.755.000 Permeter Persegi, yang diperintahkan dalam lembar disposisi PLT. Gubernur, agar menjadi pembahasan anggaran dalam APBD-P DKI 2014, yang sejatinya belum memiliki dasar hukum terkait Pergub penetapan NJOP hasil revisi (Pergub 125/2014). Sehingga APBD DKI (yang berasal dari uang rakyat) digunakan untuk membayar nilai transaksi pembelian lahan RS. Sumber Waras mencapai Rp 755 Miliar (tepatnya Rp. 755.689.550.000,-) terhadap luas lahan yang mencapai 36.401 Meter Persegi (atau mencapai 3,641 Hektar).

Peran mantan Gubernur Joko Widodo pun diyakini sangat besar dalam proses terbitnya Pergub Nomor 125 Tahun 2014, yang menetapkan revisi NJOP Tahun 2014 sebagai hasil perubahan Pergub Nomor 175 Tahun 2013. Sebab campur tangan Jokowi dalam penetapan Pergub ini, didahului dengan surat penawaran Direktur RS. Sumber Waras terkait nilai jual lahan berdasarkan NJOP yang ditetapkan persis sama dengan nilai NJOP berdasarkan Pergub Nomor 125 Tahun 2014. Padahal proses terbitnya Pergub 125/2014 diketahui pada 7 agustus 2014, sedangkan nilai penawaran berdasarkan NJOP yang belum ada aturannya tersebut, diajukan pada tanggal 27 Juni 2014, yang diperiksa dan diterima oleh PLT. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama "Ahok". Dengan demikian, terdapat hubungan peristiwa yang tidak bisa dipisahkan, antara penetapan Pergub Nomor 125/2014 tentang revisi NJOP 2014, dengan penawaran NJOP yang dilakukan oleh Dirketur RS. Sumber Waras jauh hari sebelumnya. Sehingga secara sengaja mengkondisikan peraturan dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah, untuk mengubah dasar peraturan perundang-undangan untuk menguntungkan orang lain/korporasi/Yayasan RS. Sumber Waras, dengan angka penjualan mencapai Rp 755 Miliar.

Sebagai penutup dalam penelusuran data forensik keterlibatan Jokowi dan ahok dalam skandal jual beli tanah negara dengan alas hak pengelolaan berbentuk HGB yang dikuasai oleh Yayasan RS. Sumber Waras, berdasarkan unsur "penyalahgunaan kewenangan" yang mengacu pada pendapat Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, yang mendefinisikan penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diimplementasikan kedalam 3 hal, pertama, penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, kedua, penyalahgunaan kewenangan, dimana tindakan pejabat tersebut dipandang benar untuk kepentingan umum, namun menyimpang dari tujuan kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain, ketiga, penyalahgunaan kewenangan yang diartikan sebagai perbuatan menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi menggunakan prosedur lainnya agar tujuannya tetap terlaksana.

Berdasarkan definisi yang disebutkan diatas, bahwa perbuatan pejabat Gubernur yang mengatur harga NJOP bersama pihak swasta/korporasi/yayasan, jauh hari sebelum terbitnya dasar aturan NJOP berdasarkan Pergub Gubernur "mengacu pada kewenangan Gubernur", telah mengatur dan mempengaruhi sedemikian rupa penetapan harga jual NJOP yang dibeli menggunakan uang rakyat "APBD DKI", dengan menguntungkan pihak yayasan dengan harga jual yang mencapai Rp 755 Miliar, telah memenuhi kriteria "menguntungkan orang lain", "menyalahagunakan prosedur/memanipulasi NJOP dengan mengikuti penawaran swasta", dan "manipulasi NJOP berdasarkan Pergub yang telah keluar dari prinsip efisiensi pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasarkan pasal 121/dimana penetapan harga NJOP menjadi lebih mahal dan membebani keuangan APBD".

Data forensik keempat: Sertifikat Hak Guna Bangunan diatas Tanah Negara yang dikuasai oleh Yayasan RS. Sumber Waras


Berdasarkan data sertifikat Hak Guna Bangunan yang dikuasai atas hak pengelolaan diatas Tanah Negara oleh Yayasan RS. Sumber Waras, dengan luas lahan mencapai 36.401 Meter Persegi, dengan nomor sertifikat HGB 2878. Menjelaskan kedudukan hukum, penguasaan lahan RS. Sumber Waras, sebagai tanah pengelolaan yang diberikan oleh negara, diatas tanah negara, dan bukan diatas tanah hak milik (berdasarkan pasal 21 PP nomor 40). Disebutkan sebelumnya pada bulan November Tahun 2013, terdapat kesepakatan perjanjian jual beli antara pihak Yayasan RS. Sumber Waras dengan pihak PT. Ciputra Karya Utama (CKU) yang berniat untuk merubah peruntukan lahan Rumah Sakit Sumber Waras menjadi lahan Rumah Susun. Kesepakatan tersebut disetujui oleh kedua belah pihak dengan harga diatas nilai NJOP yaitu sebesar 15,5 Juta Permeter Persegi. Pada saat kesepakatan tersebut dibuat nilai NJOP lahan sumber waras mencapai Rp 12 Juta (tepatnya Rp 12.195.000,- Permeter Persegi).

Pihak Ciputra pun menyetujuinya dengan menyerahkan uang muka "down payment" sebesar Rp 50 Miliar. Dalam keterangan Pers, Yayasan RS. Sumber Waras menerangkan, bahwa dasar pembatalan jual beli lahan kepada PT. Ciputra Karya Utama (CKU) dilakukan, karena pihak Ciputra tidak memenuhi kewajiban membangun lahan apartemen di lahan Sumber Waras, pertanggal 3 Maret 2014. Padahal alasan sebenarnya adalah belum dikeluarkannya izin konversi pengelolaan HGB yang sebelumnya diperuntukan untuk Rumah Sakit, yang kemudian ingin diganti menjadi Rumah Susun oleh pihak pengembang Ciputra. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 30 huruf b, PP Nomor 40: "kewajiban pemegang HGB untuk menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya".

Pelanggaran terhadap kewajiban "menggunakan tanah yang tidak sesuai dengan peruntukan izin yang diberikan" akan mengakibatkan batalnya hak pengelolaan HGB yang diberikan oleh negara sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 35 huruf b, PP Nomor 40. Sehingga setelah mengetahui adanya perjanjian jual beli lahan sumber waras yang dilakukan oleh pihak Yayasan dan PT. Ciputra Karya Utama (CKU), dengan jaminan down payment sebesar Rp 50 Miliar, yang merubah fungsi peruntukan pemberian lahan yang sebelumnya untuk Rumah Sakit, yang kemudian akan dikonversi menjadi pembangunan Rumah Susun, seharusnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dapat menggunakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang untuk mengajukan pembatalan HGB Yayasan RS. Sumber Waras yang telah menyalahi aturan pemberian HGB berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengingat terdapat kepentingan rakyat DKI (kepentingan umum), untuk memanfaatkan lahan Yayasan RS. Sumber Waras menjadi Rumah Sakit Kanker.

Selain itu, dalam penjelasan selanjutnya, yang dijelaskan dalam pasal 36 angka 1 yaitu "Hapusnya Hak Guna Bangunan atas tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 mengakibatkan tanahnya menjadi tanah Negara". Sehingga dengan terhapusnya HGB dan kembalinya status tanah negara diatas lahan Sumber Waras, pihak Pemrov DKI dapat mengambil-alih lahan sumber waras dengan tidak perlu membayar harga yang terlampau mahal, dengan yang dilakukan pada saat ini, dimana pihak Pemrov harus menyetujui terlebih dahulu harga jual lahan sumber waras yang ditawarkan oleh Yayasan RS. Sumber Waras, kemudian menetapkannya menjadi harga NJOP dalam bentuk Peraturan Gubernur Nomor 125/2014, dimana harganya jauh lebih mahal dibandingkan harga pasar "harga komersial" yang ditawarkan oleh PT. Ciputra Karya Utama (CKU) yang hanya mencapai Rp 15,5 Juta.

Sumber: http://ift.tt/2edWjo4


Subscribe to receive free email updates: