Putusan Jessica Akan Jadi Tonggak Baru Dunia Peradilan

Jakarta, infobreakingnews  Vonis atas Jessica yang dijadwalkan Rabu pekan depan bakal dibacakan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat akan mencerminkan dua hal. Pertama, menjadi tonggak sistem penegakan hukum di negeri ini sehingga melahirkan yurisprudensi, atau kedua,menambah jumlah potret buram dunia peradilan Indonesia yang korup.
"Saya berharap Majelis Hakim pmpinan Kisworo ini memahami bahwa sidang atas Jessica Kumala Wongso yang didakwa membunuh temannya, Wayan Mirna Salihin, merupakan pengadilan paling banyak diikuti rakyat Indonesia karena ditayangkan secara langsung sekurang-kurangnya oleh tiga stasiun televisi nasional," kata koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie M Massardi di Jakarta, Sabtu (22/10).
Jubir presiden era KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menengarai, sejak awal kejadian, 6 Januari 2016, kasus kematian Mirna sudah menjadi perhatian publik karena sensasinya yang luar biasa.
Pertama, kata dia, peristiwa tersebut terjadi di kafe Olivier, tempat nongkrong kalangan atas di kawasan mal mewah Grand Indonesia, Jakarta. Kedua, korban dan tersangka pembunuhnya perempuan muda yang lama menikmati kehidupan di luar negeri (Australia).
Sensasi terbesar, kata Adhie, datang dari Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Krishna Murti. Polisi muda flamboyan ini pada 10 Januari 2016 mengumumkan dugaan penyebab kematian Mirna: "Diduga, salah satu sampel yang diminumnya (es kopi Vietnam) mengandung zat sianida!"
"Publikasi penggunaan zat sianida dalam kasus kematian Mirna inilah sebetulnya yang mengguncang seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Karena racun sangar ini diketahui bangsa Indonesia biasa digunakan agen-agen CIA dan teroris internasional lewat film-film Hollywood," tutur Adhie.
"Kalangan politisi nasional yang hidup di tengah intrik dan adu domba pun segera meningkatkan kewaspadaannya begitu mendengar zat sianida sudah dioperasikan di Tanahair. Tak kalah hebohnya kalangan kaum pergerakan yang beroposisi kepada pemerintah. Akibatnya, zat sianida selama beberapa pekan menjadi trending topic di negeri ini," tambah dia.
Tapi yang menarik, lanjut Adhie, tim kuasa hukum Jessica pimpinan pengacara andal Otto Hasibuan, dipersidangan berhasil membuktikan bahwa zat sianida itu, yang membuat kasus ini menjadi sensasi nasional, ternyata tidak pernah ada.
Hal ini secara sederhana tapi sangat meyakinkan, dibuktikan Otto Hasibuan dengan secarik kertas "Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Kriminalitas Polri" yang menyatakan "negatif" sianida pada jasad Mirna.
Dalam sidang Jessica yang sudah 30 kali sejak pertama kali digelar (15/6), kita sudah mencatat banyak fakta yang terungkap di pengadilan. Sebagian besar mematahkan tuduhan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang tampak tergesa-gesa, karena itu kelihatan sangat sembrono. Misalnya, berita acara Labkrim Polri yang diungkap Otto Hasibuan, yang ternyata justru diperoleh dari lampiran tuntutan JPU.
Memang, sudah terlalu lama bangsa Indonesia tidak menyaksikan pergulatan hukum secara argumentatif dan mencerdaskan di pentas peradilan. Selama ini yang didapat dari pentas peradilan kita adalah "suap, suap, dan suap".
"Saya berharap dalam kasus Jessica ini, dalam menjatuhkan vonis, majelis hakim benar-benar berdasar pada fakta-fakta yang terungkap di pengadilan, yang juga dicatat rakyat Indonesia. Bukan atas asumsi, atau opini publik, yang sekarang, di tengah zaman tren memobilisasi sosial media, bisa dengan gampang dirancang," kata Adhie.
Jangan lupa, kata dia, dalam sidang-sidang Jessica ini, masyarakat juga dicerdaskan dengan sejumlah pengetahun yang disampaikan para ahli (toksikologi/racun, psikologi, kimia, ilmu membaca raut wajah, teknologi informasi, kriminologi, dan lain-lain). Sehingga menjadi sangat memalukan bila majelis hakim menjatuhkan vonisnya secara tidak cerdas.
Sebab, menurut Adhie, kalau majelis hakimnya cerdas, dari kasus Jessica ini sekurang-kurangnya akan lahir satu yurisprudensi, keputusan hakim yang akan menjadi acuan para hakim di Indonesia dalam mengambil keputusan hukum, yang selama belasan tahun tak pernah muncul dari dunia peradilan nasional. Yakni soal autopsi.
"Autopsi adalah hal paling penting dalam mengangkat kasus dugaan pembunuhan ke pengadilan (ranah hukum). Jadi yurisprudensinya, tanpa adanya autopsi maka syarat membawa kasus dugaan pembunuhan ke ranah hukum batal demi hukum," ungkap dia.
Menurut Adhie, pelajaran pentingnya bagi rakyat Indonesia dari sidang Jessica yang sudah menghabiskan banyak energi bangsa ini, terutama bagi aparat hukum, menyangkut nyawa manusia, harus senantiasa ekstra hati-hati. Sebaliknya, memvonis seseorang sebagai pembunuh padahal sejatinya tidak melakukan hal yang disangkakan, merupakan pelanggaran kemanusiaan juga.
"Jangan sampai kasus Sengkon dan Karta di Bekasi (1974), yang kemudian atas kerja ekstra keras pengacara Albert Hasibuan, berhasil dibebaskan dari vonis sebagai pembunuh (1980). Dari kasus inilah melahirkan apa yang kini kita kenal sebagai lembaga peninjauan kembali," pungkas dia. *** Mil.

Subscribe to receive free email updates: