Lombok Tengah, sasambonews.com- Pernyataan sekda NTB H.Rosiady di salah satu media lokal
Menurutnya, Salah satu Kawasan strategis pariwisata (KSP) NTB adalah kawasan Kute dan sekitarnya, yaitu kawasan yang membentang dari kecamatan Jerowaru di Lombok Timur sampai ke Pengantap di Lombok Barat. Kawasan intinya (prime location) adalah Kawasan Kute Mandalika dan sekitarnya. Di dalam kawasan inilah KEK Mandalika dengan luas 1.350 hektar berada.
Kawasan ini juga adalah kawasan emas yang menjadi harapan warga Lombok Tengah selama hampir 3 dekade untuk menjadi pendorong utama (trigger) pembangunan yang akan mengangkat kesejahteraan melalui multiple effect pembangunan pariwisata.
Beberapa tahun terakhir ini pembangunan KEK Mandalika dengan support luar biasa dari seluruh stake holder mulai menunjukkan tanda-tanda harapan itu akan segera terwujud. Warga Loteng dan NTB menunggu dengan berbagai rasa dan analisa, tergantung level informasi yang diterima. Namun secara umum warga Loteng berharap bahwa KEK dengan garis pantai sekitar 8 km akan menjadi trigger bagi pengembangan pesisir selatan Lombok Tengah dengan bentangan sepanjang 91 kilometer.
Harapan itu tiba-tiba disentakkan oleh pernyataan Sekda NTB yang meminta Lombok Tengah melakukan moratorium pemberian ijin pembangunan hotel di luar kawasan KEK. Pernyataan ini membalik harapan fungsi trigger menjadi killer. Pernyataan ini keluar dari seorang putra Lombok asli, menjabat sebagai birokrat tertinggi di NTB dengan back ground istimewa sebagai seorang akademisi. Semestinya Sekda NTB hati-hati membuat pernyataan dan hati-hati bertindak. Ini era Good Governance. Pernyataan atau keputusan pemerintah harus berdasarkan aturan dan hukum, bukan sabda pandito ratu.
"Sekda berbicara demikian dasar hukumnya apa? Perda Loteng, Perda Provinsi NTB atau Undang-undang? Sekda bukan Pandito Ratu yang hidup di abad silam. Please dech! Penghentian sementara tidak berdasar hukum" jelasnya.
Sementara untuk jangka waktu kapan. Tiga puluhan tahun kawasan selatan pernah tersandera. Kini Pemda NTB mengusulkan penyanderaan gelombang kedua.
Bahwa kawasan dimanapun perlu pengaturan memang sudah semestinya. Pengaturan. Sekali lagi pengaturan bukan penghentian. Setiap pembangunan perlu memperhatikan kaidah-kaidah teknis dan kaidah lingkungan. Oleh karena itu ada ijin lingkungan (UPL-UKL, Amdal) dan ada ijin teknis dari dinas Pekerjaan Umum yang mengaturnya. Jika itu sudah terpenuhi maka tidak ada alasan bagi moratorium.
"Sejak dulu saya dengar memang LTDC telah merencanakan kawasan Penyangga. Namun itu berasal dari lahan sekitar kawasan yang akan LTDC beli sendiri. Bukan seperti sekarang ITDC menginginkan 28.000 hektar di luar kawasan KEK sebagai penyangga" jelasnya.
Menurutnya di areal 28.000 hektar (Selong Belanak, Mawun, Mawi, Tumpak, Are Guling, Prabu, Gerupuk, Bumbang) itukah Sekda menginginkan moratorium? "Jangan sampai aktivitas pembangunan di luar kawasan lebih ramai dan merusak lingkungan." kata Sekda.
Pernyataan, merusak lingkungan dimanapun harus dihentikan seolah olah masyarakat tak faham tentang lingkungan. Semua orang faham bahwa perusakan lingkungan harus dihentikan "orang awam juga tahu. Tapi aktivitas pembangunan yang lebih ramai, saya kira itu adalah harapan kita. Silahkan ITDC do their best di kawasan, di luar kawasan biarkan berkembang sebagai mana mestinya" jelasnya.
Pemerintah memiliki instrument perijinan untuk mengatur . Sekali lagi untuk mengatur bukan menghentikan.
"Apa sih yang perlu dikhawatirkan. Sebagai developer plat merah ITDC telah memiliki semua persyaratan untuk segera settle. KEK Mandalika didukung penuh RI 1. Memiliki modal kuat, SDM memadai dan pengalaman mengelola Nusa Dua. Pembangunan di Prime Location Mandalika semestinya untuk Prime Investor dan Prime visitor. Jadi jangan seperti paranoid bersaing" jelasnya.
Penyangga (Green Belt) kalau harus diistilahkan demikian semestinya merujuk kepada kaidah lingkungan, bukan kepada persaingan. Sekda takut ITDC disaingi. Yang bener saja. Pangsa pasarnya kan beda Bapak. "Hari gini mau monopoli. Apa gunanya Bupati Lombok Tengah mencanangkan Loteng sebagai kabupaten pariwisata kalau yang boleh berkembang cuma 1300an hektar. Apa gunanya Dispar berbuih-buih berbicara tentang ceruk-ceruk belasan pantai eksotis kalau yang boleh maju cuma Kute. Apa gunanya Poltekpar seluas 5 hektar kalau hanya untuk itu" jelasnya
Salah satu effect pariwisata yang sudah alhamdulillah mulai terasa adalah meningkatnya harga tanah di kawasan selatan. Animo investor dan harga lahan di sekitar kawasan KEK grafiknya terus naik. Tapi bapak sekda tahu pernyataannya bisa membalik grafik tersebut nyungsep.
Sebagai birokrat yang pernah di Bappeda NTB, Sekda NTB semestinya tahu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Lombok Tengah yang telah menjadi PerdaLoteng dan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPARDA) kabupaten Lombok Tengah. Dua dokumen itu menjadi acuan pengembangan pariwisata Lombok Tengah. Artinya investor baik asing, nasional maupun lokal yang berinvestasi di sektor pariwisata punya pijakan, terutama saat membeli lahan. Kita harus adil terhadap mereka. Mereka berani berinvestasi dengan acuan peraturan daerah yang kita buat. Jangan memposisikan perda menjadi seperti jebakan. Padahal ketika pembangunan di lahan BTDC masih stag, Pemerintah Lombok Tengah melalui Badan Penanaman Modal dan Dinas Pariwisata gencar melakukan promosi, mengundang investor untuk mau dan segera membangun di luar kawasan yang dikuasai BTDC.
Beberapa investor ada yang langsung membangun, ada juga yang menunggu momen yang tepat (feasible). Feasible dari ketersediaan infrastruktur dan feasible dari angka kunjungan. Menunggu momen ini juga yang dilakukan para pemilik asli (saudara-saudara kita para pribumi) yang ingin menjual tanah dengan harga yang lebih layak, maupun yang ingin mencoba membangun sendiri fasilitas akomodasi. Mencoba merubah mindset, dari pekerja menjadi majikan. Mencoba menjadi pengusaha. Bukankah pemerintah selalu mendorong warganya untuk menjadi pengusaha?
Dan momen itu datang. Tidak seperti Presiden SBY yang melakukan ground breaking dan menjadikan Kute sebagai ibukota Negara dengan beristana di Novotel selama 3 hari, tapi kemudian membiarkan perintahnya untuk pengembangan KEK hilang tertiup angin, gone with the wind, Presiden Jokowi menunjukkan komitmen yang luar biasa. Beliau datang dan mengawal KEK. Mengecek perintahnya dijalankan atau tidak. Sabdo pandito ratu yang seperti ini baru melegakan, relieving. Di tengah momen seperti itu jangan ada pejabat, putra daerah lagi, yang perintahnya justru tidak bikin lega tapi bikin sesak. "Ndekm naon lauk."
Inilah momennya. Sudah lama Lombok Tengah selalu berpromosi untuk meningkatkan kunjungan dan lama tinggal wisatawan. Namun ketersediaan kamarnya belum memadai, terutama di high season banyak wisatawan yang hanya kebagian tidur di berugak-berugak penduduk. Momen sekarang sangat tepat justru untuk meminta bahkan memaksa mereka untuk segera membangun dan tidak menelantarkan lahan yang mereka kuasai.
"Semestinya kita sadar bahwa kita harus mengembangkan banyak sektor dan banyak kawasan. Jangan menaruh telur dalam hanya satu keranjang. Begitu keranjang tumpah, habislah seluruh telur yang kita punya. Karena itu mari menaruh telur di banyak keranjang, tumpah satu keranjang masih ada keranjang cadangan kita yang lain" jelasnya.
"Lewat tulisan ini saya memohon Pemda Loteng mengabaikan sabdo pandito ratu sekda NTB seperti tersebut di atas. Moratorium Perijinan pembanguna hotel adalah pelanggaran terhadap Perda RTRW Loteng. Masyarakat yang mengalami dapat melapor ke ambudsman. Integritas dan kepedulian birokrat Loteng sedang diuji. Sekda Loteng dan Camat Pujut tolong bersuara. Kadis Pariwisata yang selalu berkoar, "Peririk bale langgak, jagak gubuk gempeng, gumi paer". Pak Putria, "Mana gubuk gempeng kita? ". Tegasnya. Am