“Kembali” Ke Undang-Undang Sisdiknas


JC Tukiman Taruno Sayoga Ph.D saat menjadi panelis debat pilpres 2019
Jakarta, Info Breaking News - Sumber utama silang-sengkarut permasalahan pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah kita terletak di aspek manajerialnya (hulu), bukan di kualitas maupun hasilnya (hilir).  

Bukti sangat kuat tentang permasalahan hulu ini ialah penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2019/2020 saat ini. Sampai-sampai tindakan tidak terpuji dilakukan oleh orangtua, seperti misalnya memalsu surat keterangan domisili (SKD), atau macam-macam protes yang ujung pokok permasalahannya terkait dengan pengelolaan pendidikan.

Akademisi dari Unika Soegijapranata Semarang, JC Tukiman Taruno Sayoga Ph.D mengatakan pihak pemerintah, dalam hal ini utamanya Kemendikbud, tidak lepas pula dari "tindakan tidak terpuji," sebutlah bila merujuk ke UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), terutama Pasal 50 (pengelolaan pendidikan).

"Dari tujuh (7) ayat di pasal itu, sekurang-kurangnya ada tiga (3) ayat yang dikelola secara "kurang teguh" dalam arti ada perubahan di sana-sini sehingga menimbulkan rentetan permasalahan. Pada ayat ketiga, -terkait satuan pendidikan yang bertaraf internasional-, terbukti tidak dilaksanakan secara konsisten. Ayat itu menyebutkan bahwa "Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional." Jika hal itu kita lihat fakta di lapangan, label "bertaraf internasional" pengelolaannya justru menjadi bumerang. Dan kini gema dari bertaraf internasional itu semakin sayup, tidak dibidik-dilirik, tidak juga dibangga-banggakan karena memang tidak terbukti ke-internasional-annya," terangnya.

Lebih lanjut Taruno menjelaskan, bahwa ayat 4 dan 5 rupanya menjadi awal permasalahan pengelolaan pendidikan di berbagai wilayah. 

"Ayat 4 menyebutkan bahwa pemerintah provinsi adalah koordinator atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Praktek sehari-hari di daerah tidak lagi seperti itu, apalagi saat ini urusan pendidikan menengah dikelola  oleh provinsi (tidak sinkron dengan ayat 5)," papar Taruno yang juga menjadi pengajar mata kuliah community development di Universitas Diponegoro dan UNS ini.

"Jadi intinya, silang-sengkarut pengelolaan pendidikan besar kemungkinannya bersumber pada tidak konsistennya amanat UU Sisdiknas dijabarkan dalam kebijakan-kebijakan; termasuk tentunya kebijakan terbaru tentang zonasi," lanjut pria yang sempat menjadi salah satu panelis pada debat pilpres 2019 ini.

Permasalahan pengelolaan pendidikan semakin melebar manakala kita memperhatikan Pasal 51 UU Sisdiknas. Ayat 1 menegaskan "Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini (AUD), pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah." Ada dua kata kunci dalam ayat ini, yakni berdasarkandan dengan prinsip. Dasarnya sangat jelas, yakni terpenuhinya standar pelayanan minimal (SPM), sedang prinsipnya MBS/M.

Berita menarik berkaitan dengan PPDB tahun ini, ada sejumlah sekolah yang di satu sisi kekurangan ruang kelas (di provinsi Banten), di sisi lain, ada sejumlah sekolah yang hanya mendapatkan pendaftar atau calon peserta didik baru hanya kurang dari sepuluh (provinsi Jawa Tengah). Contoh ini menunjukkan betapa SPM kurang dilaksanakan dengan semestinya.

Dalam SPM ditegaskan sangat jelas apa saja yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah (utamanya kabupaten/kota) dalam memetakan akses pendidikan termasuk kewajiban-kewajiban yang menyertainya. "Ada kewajiban yang harus dilakukan (dipenuhi) oleh satuan pendidikan yakni setiap sekolah; dan ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah. Intinya SPM memberikan pemetaan standar, menyangkut standar ketersediaan fasilitas sekolah, ruang kelas, meja, kursi, almari, guru dan seterusnya," kata Taruno yang sejak tahun 2000 menjadi konsultan UNESCO dan UNICEF untuk mengembangkan dan mengimplementasi konsep MBS.

"Simpulannya, sesuai pepatah "Sesat di ujung jalan, balik ke pangkal," terkait dengan pengelolaan pendidikan, marilah kita 'kembali" ke UU Sisdiknas. Aspek manajerial di tingkat hulu harus benar-benar berdasarkan pada UU Sisdiknas, supaya dengan demikian implementasi di tingkat hilir benar juga adanya. Jika di tingkat hulu sudah ada hal-hal yang tidak sesuai (maaf, sesat), lewat silang-sengkarut PPDB tahun ini kita diingatkan untuk kembali ke pangkal," tutup Taruno. ***Vincent Suriadinata

Subscribe to receive free email updates: