TANTANGAN PILKADA BERINTEGRITAS

Mulyadi P Gulo |Foto: dok pribadi 
Oleh : Mulyadi Prawednesdy Gulo

Pilkada 2020 merupakan Pilkada serentak yang dilakukan untuk kepala Daerah hasil pemilihan Desember 2015, Pilkada serentak 2020 inipun akan diikuti oleh 270 daerah yang terdiri dari 9 daerah tingkat Provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. 


Untuk Sumatera Utara sendiri akan diikuti 27 kabupaten/kota, Pilkada yang sejatinya merupakan momentum untuk mengevaluasi dan menguji kepemimpinan di daerah akan terlaksana dengan baik apabila masyarakat paham dan menggunakan peran dan fungsinya dengan baik.

Tahapan Pilkada 2020 telah dimulai bahkan partai politik (parpol) di masing-masing daerah telah membuka keran konvensi untuk penjaringan bakal calon kepala daerah, namun sayang di tahap ini rakyat tidak dilibatkan secara signifikan, Oligarki parpolpun kentara—dimana pengurus pusat partai berotoritas penuh untuk menetapkan calon yang akan di SK-kan untuk mengikuti kontestasi.

Parpol tingkat lokal dan regional hanya turut merekomendasi ke pusat untuk selanjutnya ditetatapkan oleh DPP Pusat,
Selain maju lewat jalur Partai, konstitusi melalui Undang-undang 10 tahun 2016 tentang Pilkada memperbolehkan bakal calon kepala daerah maju lewat jalur independen atau perseorangan dengan mengumpulkan dukungan 6,5 % - 10 % dari DPT (tergantung jumlah DPT).

Meskipun sudah diatur sedemikian rupa, rupanya jalur independen minim peminat karena peluang menangnya kecil dan persyaratan yang susah, diperparah 'ongkos' yang mahal. 
Dari segi partisipasi publik tentu mencalonkan diri lewat jalur independen, mampu mendapatkan legitimasi rakyat secara langsung

Maju lewat jalur ini tentu mengundang voluntarisme masyarakat sehingga mendapat  dukungan yang  riil, Tapi sayang, butuh nyali besar untuk maju lewar jalur ini, sepanjang Pilkada berlangsung 2005 hingga 2016 hanya 16 kepala daerah yang berhasil terpilih via jalur ini.

KUALITAS PILKADA

Pilkada yang berkualitas hanya dihasilkan oleh penyelenggaraan pilkada yang beritegritas, pengawasan yang tegas, kontestan dan konstituen yang tidak kompromi pada hal-hal yang mencederai demokrasi itu sendiri.

Hoax atau kampanye hitam juga sering mewarnai Pilkada, seiring perkembangan teknologi dan literasi masyarakat yang tidak ikut tumbuh menjadi biang suburnya fenomena tersebut. Isu SARA juga menjadi komoditas, isu primordial selalu menjadi bancakan oknum pendukung paslon, hingga mengenyampingkan debat-argumentatif dan gagasan yang konstruktif dalam kampanye memperebutkan suara rakyat.

Diperparah politik uang yang juga tidak terelakan disetiap perheletan pilkada, tidak jarang faktor ini juga punya pengaruh signifikan dalam menentukan hasil Pilkada. Semenjak diundangkannya undang-undang no 32 tahun 2004 menggantikan undang-undang 22 tahun 2009 tentang Pemerintahan Daerah, Indonesia sejak 2005 memulai sistem Pilkada langsung—rakyat memilih pemimpin secara langsung baik pemimpin di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dengan menggantikan sistem pilkada yang memberikan kewenangan  anggota DPRD memilih Gubernur, Bupati atau Wali Kota. 

Harapannya jelas bahwa perubahan sistem ini  mampu menghilangkan atau setidaknya meminimalisir money politik dalam pemilihan. Tapi faktanya perubahan sistem tersebut hanya mampu merubah pola, dan pelaku. Kejahatan pilkada, Bahkan pilkada langsung semakin memperluas aktor dan pola pelanggaran pemilu.


BIAYA PILKADA

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menyebut untuk menjadi Bupati butuh dana pribadi Rp 30-50 miliar tergantung kondisi wilayah. Tentu dana besar ini sangat kontras dibanding pendapatan resmi Bupati dalam setahun bahkan selama 5 tahun menjabat.

Untuk negara sendiri, melalui APBN menganggarkan lebih dari Rp 15 triliun untuk Pilkada serentak 2020, atau 2 kali lipat dari Pilkada serentak 2015 yang menghabiskan anggaran Rp 7,56 Triliun. 

Wajar apabila Kemendagri akan mengevalusi Pilkada langsung, sebab anggaran besar yang dihabiskan terkesan sia-sia karena tidak mampu meminimalisr biaya politik yang dirogoh oleh para kandidat sehingga mengeliminasi perilaku koruptif kepala daerah yang terpilih akibat ongkos Pilkada yang mahal.

Ongkos politik yang mahal, menjadi faktor utama menurunnya performa pemimpin daerah. Pengeluaran saat tahapan Pilkada yang tidak sebanding dengan pendapatan saat terpilih menyebabkan Kepala Daerah harus pandai mengolah APBD dan dana lain untuk "balik modal" terkadang dengan cara melawan hukum. 

Akibatnya kepemimpinannya mengkhianati rakyat dan janji manisnya tinggal fatamorgana. Rakyat lagi-lagi jadi korban, haknya di renggut dan program pro rakyat yang didengung-dengungkan mengendap, tinggal goresan di atas kertas. 


KEPUTUSAN DI TANGAN RAKYAT

Sebagai pemegang kedaulatan, Pilkada yang berkualitas ditentukan oleh rakyat, pemimpin yang dilahirkan adalah representasi dari pilihan rakyat di bilik suara.

Ketika pemilih rasional semakin banyak tentunya kualitas Pilkada juga semakin baik. Dimana pemilih mempertimbangkan faktor rekam jejak dan kapabilitas kandidat.

Meskipun keputusan akhirnya ditangan rakyat, hendaknya Parpol sebagai pengkader dan pengusung kontestan mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas calon, tidak sebaliknya hanya bersandar pada popularitas dan kemampuan materi calon.

Agar rakyat diberi pilihan berkualitas, tidak memilih "kucing dalam karung". Karena Parpol telah berfungsi baik dan selektif di tahap penjaringan, sebab dalam proses tersebut pelibatan publik minim.

KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara dan pengawas Pilkada dituntut lebih responsif untuk menjamin terselenggaranya pilkada yang luber jurdil,tanpa intimidasi, hoax, isu SARA dan money politik.

Dengan meningkatnya kualitas Pilkada serta-merta produk Pilkada sendiri yaitu kepala daerah terpilih akan bekerja secara optimal, mengakselerasi pembangunan dengan meningkatkan ekonomi rakyat, infrasruktur dan potensi daerah. 

Sudah saatnya meneguhkan posisi rakyat sebagai pemegang daulat, menggunakan haknya dengan baik, berani memilih pemimpin karena nalar dan naluri yang aktif tidak berdasar sogokan, isu primordial atau karena terpapar hoax. Apakah Pilkada 2020 berkualitas? Kita penentunya. Semoga.***

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Unika St. Thomas Medan, anggota GMNI Bakercab Medan ;
Ketua Pemuda Peduli Nias (PPN) DPW Sumatera Utara.

Subscribe to receive free email updates: