KPK |
Jakarta, Info Breaking News - Pada Selasa (21/4/2020), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data non-DTKS dalam pemberian Bantuan Sosial kepada masyarakat, untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19.
DTKS yang dikelola Kementerian Sosial (Kemensos) merupakan basis data yang selama ini digunakan untuk pemberian bantuan sosial kepada masyarakat secara nasional.
Firli Bahuri Ketua KPK mengatakan, data tersebut sangat penting untuk menjamin bantuan sosial tepat sasaran.DTKS senantiasa mengalami perbaikan
Firli menjelaskan, melalui pelaksanaan rencana aksi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK), DTKS telah dipadankan dengan data kependudukan di Direktorat Jenderal Kependudukan Dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
"Dengan begitu, penerima bantuan pada DTKS diyakini keberadaannya berdasarkan NIK," ucap Firli di Jakarta, Rabu (22/4/2020).
Menurut Ketua KPK, ketepatan status penerima bantuan tergantung DTKS hasil perbaikan yang dilakukan secara berkala dengan bantuan pendataan oleh pemerintah daerah dan prosedur verifikasi validasi (verivali).
"KPK menyadari, di tengah upaya peningkatan pemberian bantuan sosial baik yang diberikan pemerintah pusat melalui kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, akurasi data sebagai dasar pemberian bantuan sangat penting. Makanya, KPK mengkoordinasikan pendataan kementerian/lembaga dan pemda agar jaring pengaman sosial berupa bantuan sosial baik bantuan yang berbentuk tunai, barang mau pun bentuk lainnya bisa tepat sasaran," imbuhnya.
Firli menambahkan, alokasi dana yang disiapkan pemerintah untuk penanganan wabah Covid-19 sangat banyak. Dari tambahan belanja pemerintah pusat pada APBN 2020 sebanyak Rp405,1 triliun, di mana Rp110 triliun atau 27 persennya dialokasikan untuk jaring pengaman sosial, termasuk untuk bansos kepada masyarakat yang terdampak Covid-19.
Kemudian, hasil refocusing kegiatan dan realokasi anggaran pemda per 16 April 2020, total anggaran yang direalokasikan sebanyak Rp56,57 triliun atau sebesar 5,13 persen dari total APBD 2020 yaitu Rp1.102 triliun.
"Dari Rp56,57 triliun, sebanyak Rp17,5 triliun atau sekitar 31 persen dialokasikan untuk belanja hibah/bansos dalam upaya mengatasi dampak pandemik covid-19 di daerah," papar Ketua KPK.
Melalui surat edaran yang ditujukan kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 baik di tingkat nasional mau pun daerah, dan pimpinan kementerian/lembaga/pemerintah daerah,
KPK merekomendasikan lima hal agar pendataan dan penyaluran bansos tepat sasaran.
"Pertama, kementerian/lembaga dan pemda dapat melakukan pendataan di lapangan, namun tetap merujuk kepada DTKS. Kalau ditemukan ketidaksesuaian, bantuan tetap dapat diberikan dan data penerima bantuan baru tersebut harus dilaporkan kepada Dinas Sosial atau Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin) Kementerian Sosial untuk diusulkan masuk ke dalam DTKS sesuai peraturan yang berlaku," tegas Firli.
Kedua, kalau penerima bantuan terdaftar pada DTKS namun fakta di lapangan tidak memenuhi syarat sebagai penerima bantuan, maka harus dilaporkan ke Dinsos/Pusdatin untuk perbaikan DTKS.
Ketiga, untuk memastikan data valid maka data penerima bansos dari program-program lainnya atau data hasil pengumpulan di lapangan agar dipadankan data NIK-nya dengan data Dinas Dukcapil setempat.
Keempat, kementerian/lembaga dan pemda menjamin keterbukaan akses data tentang penerima bantuan, realisasi bantuan dan anggaran yang tersedia kepada masyarakat sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas.
Kelima, KPK mendorong pelibatan dan peningkatan peran serta masyarakat untuk mengawasi. Untuk itu, kementerian/lembaga dan pemda perlu menyediakan sarana layanan pengaduan masyarakat yang mudah, murah dan dapat ditindaklanjuti segera," ujar Firli.
KPK bertugas antara lain melakukan tindakan-tindakan pencegahan, koordinasi, dan monitoring sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi.Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.*** Armen Foster