VIRUS jenis baru dengan nama Covid-19 yang lebih populer dengan sebutan corona, |
Canberra, Info Breaking News - Pemerintah berbagai negara merasakan ekonomi yang sedang melambat, perusahaan besar, menengah, dan kecil terganggu pemasukannya, dan pegawai terpaksa dirumahkan. Kerugian ekonomi akibat Virus Corona COVID-19 sangat jelas terasa bagi banyak kalangan.
Saat ini, warga negara Amerika Serikat (AS) dan negara maju lain mulai meminta ganti rugi. Gugatan class-action yang didukung ribuan warga AS itu ditangani sebuah firma hukum bernama Berman Law Group di Miami. Hal serupa juga terjadi di beberapa negara termasuk Australia.
Dalam keterangannya, firma hukum tersebut menyebutkan gugatan ini ingin menuntut ganti-rugi miliaran dolar bagi para korban COVID-19 akibat kelalaian China, demikian laporan ABC Australia, Rabu (22/4/2020).
Mereka menyebut Pemerintah China telah gagal mencegah penyebaran Virus Corona sehingga kini sudah menimbulkan masalah di seluruh dunia.
Firma hukum ini bertekad untuk "memperjuangkan hak-hak rakyat dan pengusaha di Florida serta di AS yang kini sakit atau harus merawat orang sakit, mengalami kesulitan keuangan, dan terpaksa mengalami kepanikan, pembatasan sosial dan isolasi" akibat COVID-19.
Gugatan cass-action terpisah atas nama pengusaha di Las Vegas juga sudah didaftarkan. Mereka menuntut ganti-rugi miliaran dolar ke Pemerintah China.
Gugatan di Las Vegas ini menyebutkan Pemerintah China seharusnya membagi informasi awal mengenai virus ini, namun mereka malah mengintimidasi dokter, ilmuwan, jurnalis dan praktisi hukum sembari membiarkan COVID-19 menyebarluas.
Seperti diberitakan berbagai media, pada 2 Januari 2020, pihak berwenang di China "mempermalukan" delapan orang dokter dalam siaran TV nasional. Ke-8 orang ini dituduh sebagai, "penyebar hoaks".
Menurut laporan investigasi kantor berita Associated Press pekan lalu, Kepala Komisi Kesehatan Nasional China Ma Xiaowei telah memaparkan adanya "situasi parah dan kompleks" dalam sebuah rapat bersama pejabat medis tingkaty propinsi pada 14 Januari.
Ma Xiaowei bahkan membandingkan situasi ini dengan penyebaran virus SARS tahun 2003.
Namun baru pada tanggal 20 Januari Presiden Xi Jinping mengumumkan kemungkinan adanya pandemi virus Corona ini.
Henry Jackson Society, sebuah lembaga pemikir di Inggris, menyatakan Pemerintah China harus bertanggung jawab atas pandemi COVID-19 karena adanya upaya menutup-nutupi masalah pada tahap awal. Mereka berpendapat, negara-negara G-7 bisa menggugat ganti-rugi ke China sebesar 3,2 triliun pound.
Mantan bos badan intelijen Inggris MI6 John Sawers mengungkap adanya informasi yang menyebutkan bahwa Pemeritah China menutupi permasalahan ini selama periode Desember 2019 dan Januari 2020.
Sebelumnya tabloid Bild di Jerman yang paling banyak pembacanya di Eropa, menerbitkan "surat tagihan" sebesar 24 miliar euro sebagai ganti-rugi atas pendapatan pariwisata selama Maret dan April.
Selain itu, Bild juga meminta ganti rugi 50 miliar euro untuk usaha kecil-menengah, serta 149 miliar euro lainnya jika GDP Jerman anjlok di bawah 4,2 persen tahun ini.
Dalam surat terbuka kepada Presiden China, suratkabar tersebut menyatakan "Pemerintahan dan ilmuwan Anda telah lama mengetahui bahwa virus corona sangat menular, namun Anda membiarkan seluruh dunia tidak mengetahuinya"."Para ilmuwan utama Anda tidak merespon ketika para peneliti Barat ingin mengetahui apa yang terjadi di Wuhan," tambahnya.
Seperti diberitakan ABC, Menlu Australia Senator Marise Payne telah mendorong perlunya dilakukan penyelidikan asal-usul virus corona, karena dia yakin organisasi kesehatan dunia WHO tidak akan melakukan hal itu.
Hal senada disampaikan Mendagri Australia Peter Dutton, yang juga mendesak agar China lebih transparan mengenai pandemi COVID-19, karena keluarga puluhan warga Australia yang meninggal akibat virus ini perlu mendapatkan jawaban. "Tentu saja kita pun akan dituntut jika Australia yang menjadi epicentrum virus ini yang kemudian menyebar ke masyarakat," kata Menteri Dutton.
"China harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan memberi informasi sehingga masyarakat mendapatkan kejelasan menenai apa yang sesungguhnya terjadi, karena kita tidak ingin hal itu terulang," katanya.
Menteri Dutton sendiri positif terinfeksi virus corona dan terpaksa menjalani perawatan rumah sakit pada Maret lalu.
Tanggapan China
Pemerintah China telah berulangkali menyangkal bahwa pihak menyembunyikan informasi mengenai COVIFD-19 pada tahap-tahap awal penyebaran.
Mereka, katanya, senantiasa melaporkan setiap perkembangan terbaru COVID-19 ke WHO.
Pakar hukum dari Yale University Stephen L Carter berpendapat, sebagai sebuah negara-bangsa, China tidak dapat digugat dalam permasalahan ini. Menurut dia, Pemerintah China dilindungi oleh doktrin kekebalan kedaulatan, sama seperti pemerintahan negara lain.
Penyalahgunaan kewenangan pemerintah China dalam menangani COVID-19, kata Prof Carter, tidak dapat menghapuskan doktrin kekebalan kedaulatan tersebut.
Dia menjelaskan bahwa doktrin ini bersifat timbal-balik, yaitu bahwa suatu negara tidak akan membiarkan rakyatnya mengugat negara lain jika kita tidak ingin rakyat negara lain menggugat kita.
Kedubes China di Canberra juga telah menuding Mendagri Australia Dutton sebagai juru bicara Amerika Serikat. Mereka menyebut desakan sejumlah politisi untuk menyelidiki China sebagai tindakan konyol.
"Sudah jadi pengetahuan umum bahwa sejumlah orang di AS termasuk pejabat-pejabatnya telah menyebarkan virus informasi anti China. Tujuan mereka yaitu menyalahkan orang lain dan mengalihkan perhatian dengan memojokkan China," kata jubir Kedubes China di Canberra.
Sementara itu, WHO sendiri menyatakan sampai saat ini "semua bukti yang ada" menunjukkan bahwa virus berasal dari hewan, kemungkinan besar dari kelelawar.
Infeksi COVID-19 pada manusia pertama kali terindentifikasi di Wuhan pada akhir Desember lalu.
WHO menyatakan pihaknya belum mengetahui bagaimana infeksi pertama tersebut terjadi pada manusia. "Pada tahap ini, masih mustahil untuk memastikan secara tepat bagaimana manusia di China terinfeksi SARS-CoV-2," demikian disebutkan dalam website WHO.*** Source