Beijing, Info Breaking News – Wakil Menteri Pertanian dan Pedesaan China, Han Jun hari Senin (24/6/2019) mengecam praktik pesta pernikahan mewah.
Menurutnya, budaya menggelar pesta pernikahan dengan biaya besar harus dihentikan lantaran praktik tersebut dinilai dapat menjerumuskan warga, terutama mereka yang tinggal di desa menuju jurang kemiskinan.
Tak hanya soal biaya, gelaran pesta pernikahan mewah juga kerap menimbulkan konflik. Ia menyebut di sejumlah daerah warga kerap terlibat dalam situasi kompetisi hanya karena perihal menggelar pesta pernikahan.
Secara tradisi, keluarga pengantin pria diharapkan memberikan hadiah pernikahan kepada keluarga mempelai perempuan.
Saat ini, rata-rata warga Tiongkok menghabiskan dana hingga 100.000 yuan atau sekitar Rp 205 juta hanya untuk biaya pernikahan. Padahal pada tahun 1990-an biayanya hanya menembus angka 10.000 yuan dan pada tahun 70-an hingga 80-an mencapai 200 yuan saja.
Saat ini, rata-rata warga Tiongkok menghabiskan dana hingga 100.000 yuan atau sekitar Rp 205 juta hanya untuk biaya pernikahan. Padahal pada tahun 1990-an biayanya hanya menembus angka 10.000 yuan dan pada tahun 70-an hingga 80-an mencapai 200 yuan saja.
Angka fantastis tersebut menjadikan biaya pernikahan menjadi biaya terbanyak kedua yang dikeluarkan warga Tiongkok selain biaya membeli makanan.
"Petugas kami kerap mendapati sejumlah keluarga menjadi jatuh miskin saat putra mereka menikah. Hal ini amat lazim di beberapa daerah," ujar Han.
"Para petani banyak mengeluh soal masalah yang terkait pesta pernikahan. Namun, mereka juga tak berani berubah karena tak ingin kehilangan muka," imbuhnya.
Rasio Gender Tak Seimbang
Tingginya biaya pernikahan di desa, seperti dikatakan oleh He Yafu, seorang demografer asal Guangdong diakibatkan oleh ketidakseimbangan rasio gender.
"Rasio gender di China antara bayi laki-laki dan perempuan mencapai jurang terlebar yaitu 120:100 sekitar 2000," ujar He Yafu.
Lebih lanjut, perbedaan rasio gender ini semakin parah karena para petani di desa lebih menginginkan anak laki-laki agar dapat merawat mereka ketika sudah tua.
Lebih lanjut, perbedaan rasio gender ini semakin parah karena para petani di desa lebih menginginkan anak laki-laki agar dapat merawat mereka ketika sudah tua.
"Semakin sedikit perempuan artinya, perempuan bagaimana miskinnya keluarga tetap akan menikah. Namun, bagi anak laki-laki jika kondisi ekonomi keluarganya buruk, dia kemungkinan tak akan menikah," lanjut He Yafu.
Seorang warga, Huang Qin menjelaskan bahwa di desa asalnya di Huainan, provinsi Anhui sebuah keluarga harus menggelontorkan dana minimal 300.000 yuan atau lebih dari Rp 600 juta. Biaya itu nantinya akan digunakan untuk membangun rumah bagi pasangan pengantin, membeli sebuah mobil, perhiasan dan pakaian untuk mempelai perempuan serta hadiah untuk calon mertua.
Karena biaya yang membengkak itulah pemerintah menyarankan agar para warga desa menyetujui pembatasan biaya pernikahan yang nantinya akan dimasukkan dalam peraturan desa. ***Jeremy